Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Thomas Horsfield

Tahun baruan ala Thomas Horsfield

  Kompleks Gede-Pangerango yang tertutup awan Buat Thomas Horsfield yang menghabiskan 17 tahun di Jawa dengan melulu ngetrip , riset, dan kerja pengoleksian, tahun yang berganti mungkin tak sempat ia rayakan. Tak ada pesta kembang api, kongkow bareng teman atau sekadar bikin resolusi. Seringnya ia sibuk bepergian, dalam perjalanan atau asyik blusukan. Seperti pada 1 Januari 1818. Persis di hari itu, lebih dari dua abad lalu, ia tiba di Samarang. Sang naturalis baru saja berkeliling wilayah tengah Jawa, ke beberapa lokasi yang pernah ia datangi sebelumnya.  “Saya menutup penelitian saya di wilayah kekuasaan Kesultanan dengan mengunjungi bangunan bersejarah Borobudur, di Kedu, juga ke Brambanan dan Jandi-sewu, di Mataram,” ungkap Horsfield dalam Plantae Javanicae Rariores . Lantas, “mengarah ke timur, saya melalui wilayah Sokkowati dan Grobogan, mengunjungi sekali lagi gunung api lumpur Kuwu, dan ke arah barat melewati Damak, mencapai kota Samarang pada 1 Januari 1818.” Perjalanan berte

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma

Burung 'nggak tau'

Kecembang gadung dari Siberut, 2017. Edward Jacobson tidak tahu kalau narasumbernya sama sekali tidak tahu nama dari kecembang gadung. Sang narsum, yang asli Sunda, bilang, 'duka'. Dalam bahasanya, itu artinya nggak tau . Bisa juga teu nyaho . Tetapi, duka  yang disebut. Dan itulah yang dikira Jacobson sebagai nama si kecembang. Dicatat saja olehnya, yang kemudian dipublikasikan Eduard Daniël van Oort dalam makalah tentang burung-burung Jawa bagian barat dan Krakatau, terbit 1910. Di uraian mengenai jenis itu, van Oort memberi keterangan: ‘Sundaic name: doeka’. Jacobson pun cepat menyadari kekeliruannya dan menerbitkan satu makalah di tahun yang sama. Ia membuat pengakuan: Kesalahan yang agak menggelikan terjadi karena ketidaktahuan saya tentang bahasa Sunda. Nama Irena puella turcosa Walden di halaman 138 yang saya sebut sebagai ‘doeka’, dalam bahasa Sunda berarti saya tidak tahu. Untung kejadiannya bukan sekarang-sekarang. Sang narsum bisa saja jadi menjawab agak lebih panjan