Skip to main content

Posts

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang
Recent posts

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa. Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa. Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana. "Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya." Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya. Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyeb

Wallace dan Bidadari Terindah dari Maluku Utara

Pada 8 Januari, Alfred Russel Wallace lahir. Tepat dua abad silam di tahun ini. Saya pun tergelitik untuk menulis tentangnya. Ringan-ringan saja, dan terkait burung tentunya.  Tulisan ini saya kirimkan ke sebuah media. Namun, tidak ada balasan atau pemuatan hingga lebih dari tiga minggu. Jadi, saya unggah saja di sini. Ilustrasi bidadari halmahera dalam buku The Bird of Australia, Supplement (1869) karya John Gould Setelah beberapa hari berada di Bacan, Alfred Russel Wallace begitu tak kuasa menahan diri untuk menyurati Samuel Stevens, agennya di Inggris. Ia baru saja mendapatkan seekor burung dari Ali asistennya. Itulah bidadari halmahera, burung terbaik dan terindah dari Maluku Utara. Baik Wallace maupun Ali belum pernah sekalipun melihat sang bidadari. Perjumpaan pertama tersebut membuatnya sedemikian bersemangat. “Sebelumnya saya terpikir untuk merahasiakannya,” ungkap Wallace dalam surat, “tetapi saya tak dapat membendung keinginan untuk memberi tahu Anda,” lanjutnya. Sang natura

Desa-desa burung di Jawa #3: Cimanuk

  Wilayah Cimanuk dalam peta Jawa, 1817. Ada dua desa bernama Cimanuk yang jadi kunjungan kali ini. Namanya identik, sama persis.  Desa tersebut masing-masing mewakili Kabupaten Pandeglang dan Tasikmalaya. Desa Cimanuk di Pandeglang, masuk dalam kecamatan yang bernama sama, Cimanuk. Sementara Desa Cimanuk di Tasikmalaya, berada di Kecamatan Cikalong.  Sebelum kita ke sana, dua tulisan desa-desa burung sebelumnya dapat dibaca di tautan berikut: Desa-desa burung di Jawa #1: Manuk Desa-desa burung di Jawa #2: Manukan Sebagai penamaan tempat, penyebutan 'cimanuk' sebenarnya tak hanya digunakan sebagai nama desa. 'Cimanuk', misalnya, juga merujuk pada nama sungai. Dalam catatan Tomé Pires di Suma Oriental (ditulis antara 1512-1515 ),  Chi Manuk (Chemano) merujuk sebagai nama sungai yang menjadi batas wilayah Sunda dan Jawa.     Desa Cimanuk, Kecamatan Cimanuk, Pandeglang Saya tidak menemukan informasi asal nama maupun sejarah dari kedua desa. Namun, dalam situs resmi Kecamat

BirdingASIA 37, edisinya pelanduk kalimantan

Sampul BirdingASIA 37 dengan foto pelanduk kalimantan oleh Boas Emmanuel. Diambil dari laman orientalbirdclub. “It is clear, therefore, that, from what is known of it, Borneo does not offer a very tempting field for the researches of the ornithologist.”  (Alfred Russel Wallace) Setelah lama tidak mengulas BirdingASIA, hadirnya edisi 37 (Juni 2022) sepertinya tak bisa dilewatkan. Ya, tentu saja karena pelanduk kalimantan. Tapi, mohon maaf dan harap maklum sebelumnya kalau tulisan ini telat banget . Baru sekarang bisa merampungkan ulasannya. Tak ada alasan khusus, selain kehabisan daya buat ngetik . Oke, langsung ke topik.  Ada dua hal yang menjadikan edisi 37 penting dan layak dapat sorotan. Pertama, dari sampul muka. Foto pelanduk kalimantan terpampang di sana, diabadikan oleh Boas Emmanuel.  Si burung tampil dengan sungguh fotogenik. Ia bertengger tegak pada sebuah dahan melengkung sembari membuka paruhnya, menunjukkan tengah berkicau.  Penting dicatat, karya itu menempatkan Boas sete

Sebuah buku berisi kata pengantar

  ... karena buku, sebagaimana setiap kitab dari pengarang mana pun yang pernah melihat terbit dan terbenamnya matahari, tidak lain daripada kata pengantar kepada buku lain lagi kelak di kemudian hari, yang jauh-jauh lebih penting. (Daniel Dhakidae) Tanpa pernah membayangkan bikin  field guide ,  tau-tau  "Panduan lapangan burung-burung di Indonesia seri 1: Sunda Besar" terbit. Dan terlibat di penyusunannya adalah anugerah.  Di awal, saya tak serius menanggapi kala Kang Swiss melontarkan ide penggarapan. Saat itu penyusunan buku Atlas Burung Indonesia (ABI) hampir rampung. Pekerjaan berat yang dilakukan tim Gantangan (sebutan untuk tim penyusun) setelah maraton setiap hari nyaris setahun, bisa dibilang sudah selesai. Pikir saya, mosok baru aja mau ambil napas, sudah diajak menyelam lagi. Mungkin anggota tim lain yang terlibat dalam obrolan di Batu itu menyambut dengan antusias. Tapi, saya hanya ingin kembali menjalani hidup sebagai manusia normal. Tak ingin otak ketambahan

Desa-desa burung di Jawa #2: Manukan

Letak Desa Manukan terlihat dari citra Google Earth. Setelah jalan-jalan ke Desa Manuk di Ponorogo, sekarang saya ajak Anda beranjak ke utara. Kita menuju salah satu desa yang masuk wilayah Kabupaten Bojonegoro.  Desa Manukan, Kecamatan Gayam, Bojonegoro Desa Manukan terletak persis di sisi timur Bengawan Solo. Sungai tua, saksi bagi banyak peradaban Jawa. Sungai itu menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari desa. Apakah Desa Manukan punya kisah setua Bengawan Solo?  Saya tidak tahu. Tapi, ada yang sungguh-sungguh menarik. Coba perhatikan citra Google Earth yang ada. Lekuk sungai di sekitar Desa Manukan berada itu membentuk satu figur unik. Ya, KEPALA BURUNG, lengkap dengan paruhnya! Heran juga saya. Pemukiman warga Desa Manukan berada di utara, selayaknya garis pada mahkota si figur burung, memanjang searah timur-barat mengikuti alur sungai.  Di antara alur sungai dan pemukiman, terdapat tutupan hijau yang cukup rapat. Penampakan citra Google Street View memperlihatkan, area itu