Skip to main content

Posts

Showing posts from August, 2021

Burung 'nggak tau'

Kecembang gadung dari Siberut, 2017. Edward Jacobson tidak tahu kalau narasumbernya sama sekali tidak tahu nama dari kecembang gadung. Sang narsum, yang asli Sunda, bilang, 'duka'. Dalam bahasanya, itu artinya nggak tau . Bisa juga teu nyaho . Tetapi, duka  yang disebut. Dan itulah yang dikira Jacobson sebagai nama si kecembang. Dicatat saja olehnya, yang kemudian dipublikasikan Eduard Daniël van Oort dalam makalah tentang burung-burung Jawa bagian barat dan Krakatau, terbit 1910. Di uraian mengenai jenis itu, van Oort memberi keterangan: ‘Sundaic name: doeka’. Jacobson pun cepat menyadari kekeliruannya dan menerbitkan satu makalah di tahun yang sama. Ia membuat pengakuan: Kesalahan yang agak menggelikan terjadi karena ketidaktahuan saya tentang bahasa Sunda. Nama Irena puella turcosa Walden di halaman 138 yang saya sebut sebagai ‘doeka’, dalam bahasa Sunda berarti saya tidak tahu. Untung kejadiannya bukan sekarang-sekarang. Sang narsum bisa saja jadi menjawab agak lebih panjan

Caladi euy, bukan kaladi

Caladi tilik di depan sarangnya, Jatimulyo, 2019 Mungkin sejak pertama kali lihat atau dengar namanya, saya menyebut caladi sebagai kaladi. Eh, ternyata keliru. Sebenarnya sudah sangat jelas. Di buku panduan, dari MacKinnon Jawa Bali sampai yang SKJB, tertulis dengan huruf c, bukan k. Ya, caladi ulam, caladi tilik, caladi belacan, dan caladi-caladi lainnya... Entah kenapa jadi menyebutnya kaladi. Bingung saya. Apa mungkin karena sudah begitu akrab dengan kata keladi?  Ya, sudah jadi pengetahuan umum sebenarnya kalau kebanyakan nama burung di Indonesia berasal dari nama lokal. Sumbernya dari yang ditemukan di berbagai makalah jadoel .  Kalau untuk caladi, itu berasal dari bahasa Sunda. Seturut yang bisa ditemukan, setidaknya disebut dalam beberapa makalah, seperti Nicholson (1881), Koningsberger (1901), dan van Oort (1910). Kalau di Bernstein (1859), ia menyebut tjaladi sebagai bahasa Melayu. Koningsberger menjelaskan, “Orang Sunda umumnya menyebut burung pelatuk sebagai tjaladi ; merek

Fotografi burung: kesenangan dan petualangan berbingkai ilmu pengetahuan dan pelestarian

Dalam upaya mendapat foto ciamik Memotret burung telah menjadi hobi yang memikat banyak orang, dari berbagai latar belakang. Sebagai anak kandung fotografi, kesenangan yang satu ini mampu membawa peminatnya dalam nuansa lebih: tantangan petualangan serta kedekatan dengan dunia sains dan konservasi. Guna mencapai lokasi yang jadi habitat burung saja kerap kali menantang. Sensasi petualangan akan begitu terasa saat blusukan di hutan atau naik turun bukit. Itu satu soal. Belum lagi untuk upaya mendapatkan foto. Para pelakunya harus punya kesabaran ekstra saat mencari, menunggu dan mengatasi kebosanan. Mereka kudu siap berpayah saat harus mengendap, merayap senyap agar sedekat mungkin dengan burung yang jadi sasaran.  Tapi itu akan terbayar ketika foto bagus didapat dan momen-momen menarik mampu tertangkap kamera. Apalagi bila hasilnya menjadi temuan baru atau bernilai tinggi bagi pengetahuan. Bonus besar.       Di Indonesia, genre memotret burung liar yang diabadikan langsung di habitat a