Skip to main content

Fotografi burung: kesenangan dan petualangan berbingkai ilmu pengetahuan dan pelestarian

Dalam upaya mendapat foto ciamik

Memotret burung telah menjadi hobi yang memikat banyak orang, dari berbagai latar belakang. Sebagai anak kandung fotografi, kesenangan yang satu ini mampu membawa peminatnya dalam nuansa lebih: tantangan petualangan serta kedekatan dengan dunia sains dan konservasi.

Guna mencapai lokasi yang jadi habitat burung saja kerap kali menantang. Sensasi petualangan akan begitu terasa saat blusukan di hutan atau naik turun bukit. Itu satu soal. Belum lagi untuk upaya mendapatkan foto. Para pelakunya harus punya kesabaran ekstra saat mencari, menunggu dan mengatasi kebosanan. Mereka kudu siap berpayah saat harus mengendap, merayap senyap agar sedekat mungkin dengan burung yang jadi sasaran. 

Tapi itu akan terbayar ketika foto bagus didapat dan momen-momen menarik mampu tertangkap kamera. Apalagi bila hasilnya menjadi temuan baru atau bernilai tinggi bagi pengetahuan. Bonus besar.
     
Di Indonesia, genre memotret burung liar yang diabadikan langsung di habitat alaminya mulai muncul sekira 1930-an. Ada dua sosok yang layak disebut sebagai pionir: Hans Bartels dan Andries Hoogerwerf. Keduanya membuat sesuatu yang berbeda, dan menjadi pijakan baru. 

Sebelum-sebelumnya, setidaknya pada era 1910-an, foto-foto burung mulai tampil. Tapi berupa burung mati, yang telah jadi awetan museum dan terpajang dalam pose sedemikian rupa. Foto-foto itu tercetak dalam berbagai artikel di De Tropische Natuur. Ada yang mengenai jenis-jenis elang, rangkong, burung hantu, dan banyak lagi. Baru di rentang 1920-an, foto burung hidup mulai muncul. Namun, burung yang telah jinak. Hasil tangkapan, atau bahkan yang sudah jadi peliharaan. 

Karya-karya Hans termuat di beberapa tulisan. Pertama, yang ia buat bersama sang kakak, Max. Isinya mengenai kehidupan burung-burung rangkong berjudul “Uit het leven der Neushoornvogels”. Sebanyak 15 foto tampil, hasil dokumentasi dari Jawa dan Sumatera di rentang 1932-1936. Mereka mengulas perkembangbiakan enggang cula, kangkareng perut-putih, kangkareng hitam, dan julang emas. Makalah terbit di De Tropische Natuur dalam tiga bagian pada 1937. 

Tulisan yang memuat informasi ilmiah itu menjadi begitu berharga. Menguraikan perilaku, aneka jenis pakan, gambaran letak, posisi, bentuk, dan ukuran sarang, juga proses demi proses perkembangbiakan. Hans mampu mengabadikan momen dari jarak yang dekat. Sebuah dobrakan dalam mempelajari perilaku burung di alam.

Untuk mendapatkan itu, Hans memanjat pohon-pohon besar yang menjulang, menggapai sarang yang jauh di ketinggian. Bekal kemampuan yang telah terasah semenjak kecil. Di posisi yang ideal, ia lantas membuat bilik persembunyian dari dedaunan. Kerap kali dengan mengusung bambu-bambu panjang untuk menjadi rangkanya. Pembuatan tempat penyamaran itu dilakukannya pada malam hari, agar gangguan dapat ditekan hingga sekecil mungkin.

Max, dalam satu foto yang menyertai bagian kedua makalah, memotret saat Hans berupaya menggapai satu sarang kangkareng perut-putih—36 meter dari permukaan tanah. Ia terlihat memanjat tanpa alat pengaman dan seperti mengayunkan sesuatu dari tangannya.

Jan-Hendrik Becking bercerita banyak soal itu. Tertuang dalam obituari tentang Hans yang terbit pada 2000 [terjemahan bebas dapat dibaca di Mengenang Hans Bartels Bagian I dan Bagian II]. 

“Hans adalah pemanjat pohon yang ulung dan sama sekali bukan seorang akrofobia”, jelas Becking. “Ia mengembangkan teknik baru untuk memanjat pohon besar lagi tinggi (dalam bahasa Sunda: pohon intip) untuk menemukan burung pemangsa.” 

Saat bersekolah pertanian di Belanda, masih menurut Becking, Hans, “Juga mempelajari tempa baja dan perkayuan. Ini memberinya ide untuk mendesain alat pemanjat dari besi (lebih tepatnya kait pemanjat), yang kemudian ia gunakan untuk memanjat pohon yang sulit.” 

Hans Bartels dalam upaya mencapai sarang kangkareng perut-putih di ketinggian 36 meter, Pematang Siantar, Juni 1932. Didokumentasikan oleh Max Bartels.

Pada 1956, Hans mendokumentasi lebih lanjut mengenai perkembangbiakan julang emas. Kali ini  untuk mengabadikan dalam bentuk gambar bergerak.

Becking menjelaskan, “... ia bekerja selama tiga tahun (1937/1939) untuk membuat film Kodachrome dengan kamera khusus 16 mm terkait biologi perkembangbiakan dan daur hidup lengkap dari julang emas, mulai dari awal betina menempati sarang hingga anakan dan induk betina keluar dari sarang. Namun, film ini (tiga rol film dengan masing-masingnya sepanjang 400 kaki) hilang saat Perang Dunia II bersama dengan seluruh peralatan, foto-foto, sedikit koleksi sarang dan seluruh buku catatan pengamatannya.” 

Tak hanya rangkong. Ia pun mengabadikan sepasang paruh-kodok kepala-pucat yang tengah bersarang. Temuan itu jadi yang pertama untuk jenis endemik Sumatera tersebut. Melihatnya mengingatkan pada makalah paruh-kodok tanduk dari Syahputra dan Muhammad Iqbal yang terbit di BirdingASIA. Salah satu foto Syahputra bahkan jadi sampul edisi ke-26 terbitan Oriental Bird Club tersebut (sedikit ulasan bisa dibaca di sini). 

Paruh-kodok kepala-pucat dokumentasi Hans Bartels. 
Di kesempatan lain, Hans menuliskan temuan berbiak pertama elang kelelawar. Ia memanjat pohon guna mendekati sarang yang berada di ketinggian 62 meter. 

Bila Hans mengabadikan perkembangbiakan banyak burung hutan, Andries Hoogerwerf lebih memilih burung-burung air. Banyak tulisannya yang berisi foto seri mengenai perkembangbiakan berbagai jenis di Jawa. Dara-laut kecil, ibis cucukbesi, dan bangau bluwok, jadi beberapa di antaranya. 

Dalam artikel dara-laut kecil, misalnya, ia menyampaikan temuan pertama perkembangbiakan untuk Jawa. Sebelumnya, dara-laut kecil dianggap sebagai jenis migran, tanpa ada populasi berbiak yang diketahui. Terbit di De Tropische Natuur pada 1934, Hoogerwerf menjelaskan penemuannya, termasuk proses pengamatan dan pengambilan foto. Meski tidak menyebut lokasi dan waktu, namun dari makalahnya yang lain ia menjelaskan temuannya berasal dari sebuah hamparan pasir di pesisir Batavia.

Ornitolog Belanda itu tidak pula menjelaskan peralatan yang digunakan. Tetapi, ia memilih tidak memakai peralatan yang bisa dioperasikan dari jarak jauh. Ia memutuskan untuk bersembunyi dalam tenda agar dapat mengamati dari jarak dekat tanpa mengusik, Meski harus rela berpanasan, ia tak ingin melewatkan kesempatan melihat perilaku alami burung secara detil. 

“Saya tidak akan mencoba untuk menggambarkan betapa panasnya berada di dalam sana," ungkapnya. Namun kemudian, "Setelah sekitar seperempat jam, saya tidak lagi memiliki sehelai pun benang kering di tubuh dan tiap dua detik setetes keringat jatuh pasir kering dari dagu saya; saya menghabiskan sekitar empat jam di dalam tenda.” 

Usai mengamati, Hoogerwerf merasa sangat puas. “... saya seperti tiba-tiba berdiri di puncak Pangrango, terasa begitu luar biasa segarnya ketika saya keluar dari tenda,” jelasnya. 

Sepasang dara-laut kecil dengan dua telur dan satu anakan yang difoto Andries Hoogerwerf

Sebagaimana Hans, Hoogerwerf mendorong diri hingga batas-batas kemampuan. Memenuhi minat dan kesenangan macam memotret burung ini memang sulit ditakar. Modalnya tidak cukup sekadar alat mumpuni, tapi juga pengetahuan, kesabaran, ketahanan diri, dan kemauan berpayah-payah. Kepuasannya di batin. Entah itu mendapat foto bagus, pengalaman, atau dokumentasi yang bernilai bagi pengetahuan. 

Karya-karya mereka memberi menjadi gebrakan. Pijakan kuat yang menegaskan peran fotografi dalam dunia sains, sembari menekankan pentingnya mendokumentasi dengan meminimalisir gangguan. Upaya yang jadi bukti bahwa di semenjak awal kehadirannya, fotografi burung berjalan dengan semangat pelestarian. Karya-karya mereka tampil sebagai dokumentasi atas momen penting. Penguat temuan-temuan yang memperkaya informasi dan pengetahuan perburungan. Sumbangan yang luar biasa.

Bacaan
Bartels, M. & H. Bartels. 1937. Uit het leven der neushoornvogels (I). De Tropische Natuur 26(8): 117-127. 

Bartels, M. & H. Bartels. 1937. Uit het leven der neushoornvogels (II). De Tropische Natuur 26(9): 140-147. 

Bartels, M. & H. Bartels. 1937. Uit het leven der neushoornvogels (III). De Tropische Natuur 26(10): 166-173.

Bartels, H. 1952. Machaerhamphus a. alcinus Westerm. Waarnemingen bij vogel, nest en ei. Limosa 25: 93-100. 

Bartels, H. 1956. Waarnemingen bij een broedhol van de Jaarvogel, Aceros u. undulatus (Shaw) op Sumatra. Limosa 29: 1-18. 

Becking, J.H.  2000. In memorium Hans Bartels (1906-1997). Kukila 11: 174-178. [tulisan serupa dengan tambahan foto-foto berjudul 'In memory of Hans Bartels (1906-1997)' terbit tahun berikutnya di Ardea 89(2): 420-425]. 

Hoogerwerf, A. 1934. Bij het nest van Sterna albifrons sinensis. De Tropische Natuur 23(8): 151-153.

Hoogerwerf, A. 1936. On the nidification of some Javan birds. Bulletin of the Raffles Museum 12: 118-124.

Syahputra & M. Iqbal. 2016. Breeding records of Sunda Frogmouth Batrachostomus cornutus on Bangka island, Sumatra, Indonesia, with information on parenting behaviour and diet. BirdingASIA 26: 32-38.

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi ...

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang...

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa. Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa. Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana. "Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya." Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya. Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyeb...