Skip to main content

Mengamati mudiknya sang pemangsa dari Pegunungan Dieng utara

 

Puluhan burung pemangsa saat terpantau di DAS Kupang, Batang, 21 Maret 2025.

Bicara mudik, momen akhir puasa 1446 Hijriah ini terbilang menarik. Agenda menyambut lebaran itu tak hanya milik manusia-manusia perantau. Ada pula burung pemangsa yang terpantau berbondong-bondong bergerak "pulang kampung". 

Tetapi, meskipun sama-sama menjalaninya sebagai ritual tahunan, tujuan mudik kaum rantau dan burung pemangsa berbeda. Buat kita, menyambangi tanah kelahiran jadi ajang silaturahmi, temu kangen dengan orang tua, keluarga, maupun kerabat dekat. Buat burung pemangsa, tiada lain untuk berkembang biak, melanjutkan upaya melanggengkan eksistensi mereka sebagai spesies. 

Bersama Apen, saya cukup beruntung bisa sedikit memergoki hiruk-pikuk pergerakan burung-burung pemangsa migran tersebut saat berkunjung ke sekitaran Daerah Aliran Sungai (DAS) Kupang, Batang. Lewat pengamatan pada 21 Maret 2025 yang terbilang insidental itu, tiga titik perjumpaan tercatat.

Titik pantau di sekitar DAS Kupang, Peg. Dieng Utara, 25 Maret 2025

Perjumpaan pertama  berada pada area perbatasan kebun pinus dan karet Wonodadi, Bandar (titik 1). Posisi kami berada di atas lembah Kali Kupang, sekitar 437 meter di atas permukaan laut. Saat itu, beberapa elang-alap cina terbang berputar dan melintas dari timur ke barat. 

Sekitar setengah jam kami menunggu, berpuluh elang-alap cina dan sikep-madu asia yang lewat. Dari sekadar satu individu atau kelompok kecil, hingga besar berpuluh-puluh ekor. Sebagian besarnya melintas dengan gaya terbang mengepak, lalu meluncur cepat (lihat video di bawah). 


Meskipun cukup rendah, namun gaya terbang cepat seperti itu tidak terlalu menguntungkan buat mendapat foto yang baik . Saya memilih merekam daripada memotret, karena selalu gagal memperoleh fokus. 

Mengintip mereka lewat teropong malah jauh lebih leluasa. Apalagi saya dipinjami Optisan 8x42 dari Oka, bos Birding Indonesia. Jernihnya luar biasa. Akan saya ulas dua seri keker itu di postingan berbeda.

Lokasi titik 1 di Wonodadi, Bandar. Foto oleh Apen.

Kembali ke pantauan arus mudik, titik selanjutnya berada di utara titik pantau pertama (titik 2). Kami tepat berada di atas jembatan Kali Kedung Malang, pada elevasi 244 meter di atas permukaan laut. Sekitar 20-an elang-alap cina dan seekor sikep-madu asia terbang berputar memanfaatkan udara panas, untuk kemudian meluncur. Meskipun mendapati pergerakan ber-soaring yang lambat dan cukup lama, namun keberadaan mereka jauh tinggi di angkasa.  

Titik pantau ketiga menjadi yang paling ramai (titik 3). Kami berada di persawahan Desa Sodong, pada elevasi 590 meter di atas permukaan laut. Selain ramai, area pengamatan cukup memanjakan mata. Menyenangkan sekali. Burung-burung terbang cukup rendah. Lebih banyak terlihat terbang berputar, sesekali melintas cepat.

Serombongan yang terpantau dari Desa Sodong, 25 Maret 2025

Dua ekor sikep-madu asia saat melintas persawahan Desa Sodong, 25 Maret 2025

Bila ditarik garis lurus, rentang titik pantau antara jembatan Kali Kedung Malang hingga Desa Sodong mencapai kira-kira 4 kilometer. Jalur yang sangat lebar. Kalau diminta memilih, tentu saya akan nongkrong di Desa Sodong. 

Di hari berbeda, pada 25 Maret 2025, kami mendapati tujuh individu elang-alap cina berputar di dekat Tugu Pisang Kalirejo (titik 4). Titik 4 ini berjarak sekitar 2,85 kilometer garis lurus dari jembatan Kali Kedung Malang.

Kawasan Pegunungan Dieng sisi utara telah lama diketahui sebagai jalur migrasi burung pemangsa. Vincent Nijman melaporkannya pada 2004 di Ardea.  Dalam makalah berjudul "Magnitude and timing of migrant raptors in Central Java, Indonesia" itu, Nijman mencatat setidaknya 30.000 burung pemangsa melintas kawasan ini setiap tahunnya, 

Pemantauannya dilakukan pada saat migrasi datang. Berturut-turut dari September-Oktober 1998, September-Oktober 1999, dan November 2001. Lokasinya tersebar di beberapa titik sepanjang 21 km, dari Kajen, Pekalongan hingga Kalibening, Banjarnegara.

Namun, untuk pergerakan mudik yang lebih dikenal sebagai migrasi balik atau migrasi musim semi ini, tampaknya belum ada laporan terpublikasi dari pegunungan yang melingkupi enam kabupaten di Jawa Tengah tersebut.

Tetapi tak soal. Terpenting, tetap jaga kondisi dan kesehatan. Selamat mudik, kawan-kawan. Hati-hati di jalan. Saya suguhkan video berikut, saat serombongan besar teramati dari Desa Sodong.





Comments

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi ...

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma...

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang...