Skip to main content

Posts

Showing posts with the label Nama lokal

Burung-burung dalam kisah Purwalelana keliling Jawa

Ayam-hutan merah dan ayam-hutan hijau di habitatnya. Ada buku tua yang ditulis seorang bernama Purwalelana, berisi catatan perjalanannya keliling Jawa. Lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana judulnya. Sebuah karya dua volume yang terbit perdana pada 1865-1866 dalam aksara dan bahasa Jawa.  Rilis Hakluyt Society yang membuat saya tahu buku itu. Berisi tulisan atas terbitnya edisi terjemahan bahasa Inggris mereka. Edisi yang terbit 2020 berjudul The Javanese Travels of Purwalelana .  Edisi Inggris itu mengacu pada terbitan kedua kisah Purwalelana yang berisi dua volume. Volume pertama terbit 1877 dan yang kedua 1880. Dari total empat babak perjalanan yang dilakukan Purwalelana, tiap-tiap volumenya berisi dua bagian. Dalam rilis Hakluyt menjelaskan, di perjalanan keempat Purwalelana kesengsem dengan pemandangan alam Ambarawa. Saking kepincutnya, ia sampai harus kembali menulis gaya lama, dalam bait tembang. “Pemandangan area perbukitan tempatku berjalan ini luar biasa mengagumkan,”

Burung 'nggak tau'

Kecembang gadung dari Siberut, 2017. Edward Jacobson tidak tahu kalau narasumbernya sama sekali tidak tahu nama dari kecembang gadung. Sang narsum, yang asli Sunda, bilang, 'duka'. Dalam bahasanya, itu artinya nggak tau . Bisa juga teu nyaho . Tetapi, duka  yang disebut. Dan itulah yang dikira Jacobson sebagai nama si kecembang. Dicatat saja olehnya, yang kemudian dipublikasikan Eduard Daniël van Oort dalam makalah tentang burung-burung Jawa bagian barat dan Krakatau, terbit 1910. Di uraian mengenai jenis itu, van Oort memberi keterangan: ‘Sundaic name: doeka’. Jacobson pun cepat menyadari kekeliruannya dan menerbitkan satu makalah di tahun yang sama. Ia membuat pengakuan: Kesalahan yang agak menggelikan terjadi karena ketidaktahuan saya tentang bahasa Sunda. Nama Irena puella turcosa Walden di halaman 138 yang saya sebut sebagai ‘doeka’, dalam bahasa Sunda berarti saya tidak tahu. Untung kejadiannya bukan sekarang-sekarang. Sang narsum bisa saja jadi menjawab agak lebih panjan

Caladi euy, bukan kaladi

Caladi tilik di depan sarangnya, Jatimulyo, 2019 Mungkin sejak pertama kali lihat atau dengar namanya, saya menyebut caladi sebagai kaladi. Eh, ternyata keliru. Sebenarnya sudah sangat jelas. Di buku panduan, dari MacKinnon Jawa Bali sampai yang SKJB, tertulis dengan huruf c, bukan k. Ya, caladi ulam, caladi tilik, caladi belacan, dan caladi-caladi lainnya... Entah kenapa jadi menyebutnya kaladi. Bingung saya. Apa mungkin karena sudah begitu akrab dengan kata keladi?  Ya, sudah jadi pengetahuan umum sebenarnya kalau kebanyakan nama burung di Indonesia berasal dari nama lokal. Sumbernya dari yang ditemukan di berbagai makalah jadoel .  Kalau untuk caladi, itu berasal dari bahasa Sunda. Seturut yang bisa ditemukan, setidaknya disebut dalam beberapa makalah, seperti Nicholson (1881), Koningsberger (1901), dan van Oort (1910). Kalau di Bernstein (1859), ia menyebut tjaladi sebagai bahasa Melayu. Koningsberger menjelaskan, “Orang Sunda umumnya menyebut burung pelatuk sebagai tjaladi ; merek