Ayam-hutan merah dan ayam-hutan hijau di habitatnya. |
Rilis Hakluyt Society yang membuat saya tahu buku itu. Berisi tulisan atas terbitnya edisi
terjemahan bahasa Inggris mereka. Edisi yang terbit 2020 berjudul
The Javanese Travels of Purwalelana.
Edisi Inggris itu mengacu pada terbitan kedua kisah Purwalelana yang berisi dua volume. Volume pertama terbit 1877 dan yang kedua 1880. Dari total empat babak perjalanan yang dilakukan Purwalelana, tiap-tiap volumenya berisi dua bagian.
Dalam rilis Hakluyt menjelaskan, di perjalanan keempat Purwalelana kesengsem dengan pemandangan alam Ambarawa.
Saking kepincutnya, ia sampai harus kembali menulis gaya lama, dalam bait
tembang.
“Pemandangan area perbukitan tempatku berjalan ini luar biasa
mengagumkan,” ungkap Purwalelana. Dia kemudian mengatakan, “aku nggak sanggup menggambarkan kemegahannya, kecuali
kalau kuungkap dalam puisi.”
Dalam puisi berupa larik tembang itu, Purwalelana menyebut berbagai jenis burung
kicau. Begini saya kutip terjemahan Inggris dari Hakluyt:
Ada burung gereja, perkutut, kutilang. Tiga lainnya, mungkin emprit, prenjak, dan wiwik. Harus memastikan dari teks aslinya. Penasaran betul memang, ingin tahu penyebutan nama burung itu dalam bahasa Jawa. Versi Purwalelana.The sparrow, the turtledove,The sooty-headed bulbul, the white-headed munia, the pipit,A reedbird boastfully inviting me to join them,A cuckoo ticking against an earthen pitcher,All these birds along the routeEpitomize a traveller’s delight.
Saya beruntung menemukan alih aksara buku dari Yayasan Sastra
Lestari atau Yasri. Terdigitasi, yang dapat diakses daring lewat situs
sastra.org milik mereka. Sayangnya, Yasri tidak punya naskah perjalanan keempat.
Versi cetaknya, seperti yang tersimpan di Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah
Yogyakarta, misalnya, sama. Hanya berisi perjalanan pertama hingga tiga. Sementara, versi asli yang menggunakan aksara Jawa, saya pasti nggak akan bisa baca.
Volume pertama edisi perdana kisah Purwalelana, 1865. |
Di perjalanan kedua, Purwalelana menyebut jenis lain. Ia menjumpainya kala menyambangi satu tempat di timur Jawa. Saya kutip tulisannya dari situs Yasri:
Margi ingkang saking Jêmbêr dumugi ing Pugêr wau mêdal wana agêng, kalêrês nalika kula langkung ing ngriku wanci sontên, samargi-margi kula ningali pêksi mêrak sarta sawung wana, botên ngamungakên punika kemawon, nanging kula ningali ugi mênjangan kang mêmăngsa ing cêlakipun radinan. Dene ningali lampahipun kreta punika botên wontên kang lumajêng malah sami ningali, dene cêlêngan tanpa etangan kathahipun.Saya lumayan gagap memahami bahasa Jawa kromo. Jadi, mohon maaf kalau banyak ngaco. Hasil terjemahan bebas dari bolak-balik konsultasi dengan Google kira-kira begini:
Jalan dari Jember sampai Puger tadi melewati hutan luas, kebetulan aku lewat pas sore. Di mana-mana sepanjang jalan, aku liat burung merak dan ayam hutan, asli cuek banget. Aku juga liat kijang pada cari makan dekat banget sama jalan. Dia pada ngeliatin laju kereta kuda, nggak lari apa gimana, malah cuma saling liat-liatan. Babi hutan, udah deh, nggak keitung lah saking banyaknya.Dari tulisan itu, saya baru tahu kalau selain pithik alas, ayam hutan juga disebut sawung wana, yang dapat diartikan pula ayam jago.
Mungkinkah yang dimaksud Purwalelana itu
ayam-hutan merah? Kalau iya, kenapa ia tidak menyebutnya
bekikuk (sebagaimana digunakan masyarakat pesisir Malang, misalnya) atau
bakekok (digunakan masyarakat Petungkriyono, Pekalongan)?
Penamaan itu merujuk pada suara khas jantan: "be-KIK-KUUK". Dikeluarkan dalam tiga nada meninggi yang berat, parau, namun lantang menyentak. Membedakan moyang ayam peliharaan ini dengan turunannya yang berbunyi "kukuruyuk". Soal ini, orang Sunda nggak sepakat. Mereka mendengarnya "kongkorongkok".
Atau, apa yang dimaksud Purwalelana justru ayam-hutan hijau? Keduanya ada dan masih
mungkin ditemukan di sana saat ini, termasuk juga merak, lebih dari satu
setengah abad setelah yang dilihat Purwalelana. Terutama di kawasan yang masuk
area perlindungan Taman Nasional Meru Betiri.
Buku catatan itu jadi
sedemikian penting karena memberi gambaran Jawa era dulu. Terlebih, karya
tersebut disebut mampu mendobrak dunia literatur Jawa. Di kala itu, yang semarak
adalah buku-buku berisi untaian tembang, syair-syair panjang tentang riwayat
raja-raja atau peperangan.
Namun, Purwalelana memunculkan yang sama sekali berbeda.
Tulisannya berbentuk prosa dan bertutur sebagai orang pertama. Isinya mengalir,
sebagai cerita dan kesaksian atas pengalamannya saat itu.
Purwalelana sebenarnya
adalah nama samaran penulis. Artinya, pengelana pertama. Dan, ia memang menjadi
pelancong pertama tanah air, sekaligus mengawali buku bergenre travelogue.
Nama
aslinya Raden Mas Arya Candranegara V. Bupati Kudus sekaligus pakdenya Raden
Ajeng Kartini. Ia lahir bulan ini, tepatnya 9 Februari 1837, 185 tahun lalu.
Selamat ulang tahun mas Pur. Semoga kelak akan ada yang menerbitkan cerita
perjalanan panjenengan ke bahasa Indonesia. Selengkapnya, termasuk perjalanan
keempat.
Lha iki dewe yo lewat Puger mas.
ReplyDeleteIyo Kuh.. Puger wis dadi jujukan ket mbiyen. Horsfield yo ngambah kono >50 taun sak durunge
Delete