Skip to main content

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa.

Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa.

Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana.

"Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya."

Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya.

Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyebut nama dari orang yang lebih awal mengetahui temuan penguin tersebut, Tn. v. Schierbrand. Namun, karena sang nelayan adalah pribumi, anonim seakan jadi keniscayaan.

Kita perlu meninggalkan praktik menganonimkan orang seperti itu. Karena itu, sebutlah nama orang-orang yang membantu kita dalam pengamatan atau penulisan. Tak hanya sekadar menyebut mereka sebagai 'warga desa A', 'pemburu', dan sejenisnya. Bila perlu, cantumkan orang tersebut sebagai penulis pendamping dalam publikasi kita.

Penyebutan nama tidak hanya karena kita tak lagi hidup di era kolonialisme. Tidak pula hanya sebagai bentuk penghargaan atau upacan terima kasih kita atas kontribusi orang tersebut. Penyebutan nama juga sebagai bentuk pengakuan, bahwa pengetahuan yang tertuang dalam publikasi kita tidak berasal atau dihasilkan dari kita sendiri. Ada pengetahuan orang lain—yang bisa jadi baru dan tidak diketahui sebelumnya dalam dunia sains—dan itu lahir dari pengalaman pribadi, bahkan menjadi pengetahuan bersama bagi kelompok masyarakatnya. Jangan kemudian diklaim sepihak.

Hal menarik kedua, karena informasinya berasal dari Tn. v. Schierbrand, besar kemungkinan peristiwa penguin terdampar itu tidak terjadi ketika Meyer blusukan di Nusantara pada rentang 1870-1873. Lebih mungkin itu terjadi pada saat Tn. v. Schierbrand mengunjungi Jawa di rentang 1825-1826.

Bernama lengkap Wolf Curt von Schierbrand, letnan jenderal kerajaan Belanda itu menulis catatan perjalanan yang diberi judul Laporan Perjalanan dari Pulau Jawa 1825–1826. Catatan tersebut sepertinya sangat personal, karena dibuka dengan sapaan hangat penuh cinta untuk ibunya, dan tidak untuk dipublikasikan. Tulisan panjang berbahasa Jerman tersebut baru kemudian diterbitkan di tahun kematian von Schierbrand pada 1888.

Dari sedikit penelusuran dalam tulisan (lewat kata kunci ‘pinguin’ dan ‘vogel’), saya tidak menemukan informasi mengenai penguin yang dimaksud. Hanya beberapa jenis lain, misalnya mengenai elang-laut perut-putih dan (kemungkinan) buntut-sate putih. Sepertinya memang komunikasi yang disebut Meyer dilakukan secara pribadi, di luar dari yang tertulis dalam memoar perjalanan. 

Tanpa nama penemu, tak ada tanggal persis dari penemuan itu, tiada pula yang mengutip atau menyebutkan temuan penguin itu lagi, hingga nyaris dua abad kini. Kalau saja ngeh saat pengerjaan buku Sunda Besar...

Henry Ogg Forbes, misalnya, tidak menyinggung soal penguin itu saat merespon makalah Meyer di tahun yang sama. Tidak pula ada dalam makalah daftar burung Batavia yang disusun Adolphe G. Vorderman yang terbit di rentang 1882-1885. Demikian pula oleh para ornitolog maupun naturalis setelahnya.

Soal perjumpaan penguin itu hanya termuat dalam sebuah kupasan singkat di Ibis. Dari situ lah awalnya saya tahu catatan Meyer tersebut.

Ulasan di Ibis terkait publikasi Meyer.

Hal tersebut terjadi karena beberapa kemungkinan. Pertama, mungkin karena makalah Meyer lebih banyak mengungkap burung-burung di kawasan timur, terutama Nusa Tenggara, sehingga tidak dibaca atau menjadi rujukan untuk mengupas burung wilayah Sunda Besar. 

Kemungkinan kedua, spesimen yang jadi koleksi museum Dresden itu kadung musnah sebelum bisa ditelaah. Dalam sejarahnya, Fritz (2002) menyebut telah dua kali museum tua itu mengalami bencana, dampak dari peperangan. Pertama, pada 1849 saat terjadi Pemberontakan Mei. Kedua, Pengeboman Dresden, Februari 1945, suatu rangkaian peristiwa dalam Perang Dunia II. 

Mengacu Eck & Quaisser (2004), 37% koleksi spesimen burung yang musnah akibat perang dengan Sekutu tersebut. Efeknya, tidak ada makalah yang kemudian menyebut keberadaan si penguin, meski temuan tersebut terbilang fantastis.

Itu jadi hal menarik ketiga sebenarnya, yakni mengenai si penguin itu sendiri. Luar biasa memang, mengingat burung wilayah dekat kutub selatan itu bisa ada di sekitar pulau tropis seperti Jawa.

Hasil penelusuran Meyer, ia memperkirakan penguin berstatus Rentan itu berasal dari Kepulauan Falklands, Amerika Selatan. Jauh banget berenangnya.


Beberapa rujukan

Anon. 1884. Notices of recent ornithological works. Ibis 2(8): 458-459.

Eck, S. & C. Quaisser. 2004. Verzeichnis der typen der vogelsammlung des Museums für Tierkunde in den Staatlichen Naturhistorischen Sammlungen Dresden. Zoologische Abhandlungen (Dresden) 54: 233–316

Forbes, H. O. 1884. Remarks on a paper by Dr. A. B. Meyer on a collection of birds from the East-Indian Archipelago, with special reference to those described by him from the Timor-Laut group of Islands. Proceedings of the Zoological Society of London 1884: 425-434.

Fritz, U. 2002. Herpetology and herpetological type specimens at the Museum für Tierkunde Dresden with a bibliography of herpetological contributions by Fritz Jürgen Obst (Amphibia, Reptilia). Faunistische Abhandlungen, Staatliches Museum für Tierkunde Dresden 23: 3-34.

Meyer, A.B. 1884. Ueber neue und ungenügend bekannte vögel, nester und eier aus dem Ostindischen Archipel im Königl. Zoologischen Museum zu Dresden. Abh. Naturwiss. Ges. Isis Dresden 1884(1): 1-64.

von Schierbrand, W.C. 1888. Reisebericht aus Java a. d. J. 1825-1826. Für die Familie und die Freunde als Manuscript. Königsberg, Hartungsche Buchdr. Edited by A. Schöne.

Comments

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang