Skip to main content

BirdingASIA 37, edisinya pelanduk kalimantan

Sampul BirdingASIA 37 dengan foto pelanduk kalimantan oleh Boas Emmanuel. Diambil dari laman orientalbirdclub.


“It is clear, therefore, that, from what is known of it, Borneo does not offer a very tempting field for the researches of the ornithologist.” 
(Alfred Russel Wallace)


Setelah lama tidak mengulas BirdingASIA, hadirnya edisi 37 (Juni 2022) sepertinya tak bisa dilewatkan. Ya, tentu saja karena pelanduk kalimantan.

Tapi, mohon maaf dan harap maklum sebelumnya kalau tulisan ini telat banget. Baru sekarang bisa merampungkan ulasannya. Tak ada alasan khusus, selain kehabisan daya buat ngetik.

Oke, langsung ke topik. 

Ada dua hal yang menjadikan edisi 37 penting dan layak dapat sorotan. Pertama, dari sampul muka. Foto pelanduk kalimantan terpampang di sana, diabadikan oleh Boas Emmanuel. 

Si burung tampil dengan sungguh fotogenik. Ia bertengger tegak pada sebuah dahan melengkung sembari membuka paruhnya, menunjukkan tengah berkicau. 

Penting dicatat, karya itu menempatkan Boas setelah Syahputra. Dua orang Indonesia ini punya foto yang mejeng sebagai sampul BirdingASIA. Syahputra lewat foto paruh-kodok sunda di muka edisi 26 (baca ulasannya dalam blog lama saya di sini).

Lalu, sebagaimana dalam edisi bersampul foto milik Syahputra, edisi 37 pun memuat artikel tentang spesies terpampang. Inilah sorotan kedua, sekaligus yang utama.

Artikel tersebut disusun Panji Gusti Akbar dan kolega. Isinya berupa hasil penelitian yang mengupas sekelumit kehidupan burung bernama ilmiah Malacocincla perspicillata itu. Boas termasuk di dalam jajaran penyusun—dan namanya bahkan juga tertera pada artikel lain dalam edisi. 

Meskipun telah banyak diketahui, tapi mari mundur ke dua tahun sebelumnya. Momen ketika si pelanduk mampu menyedot perhatian dunia karena berhasil “diketemukan kembali”. Membuatnya tak lagi gaib setelah hanya pernah diketahui dari dua koleksi spesimen di 1843 dan 1848. 

Atas peran Muhammad Suranto dan Muhammad Rizky Fauzan, warga sekitar Meratus, keberadaan pelanduk kalimantan akhirnya terkuak. Mereka mendapatinya, hidup, tanpa tau seluk-beluk si spesies. Panji kemudian membantu mengonfirmasi dan memastikan identitas spesies. 

Temuan di Oktober 2020 itu kemudian dipublikasikan Panji, Suranto, Rizky, dan rekan-rekan lain di edisi 34 majalah yang sama. Judulnya, “Missing for 170 years—the rediscovery of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata on Borneo”.

Pandemi membuat kegiatan penelitian lapangan terhenti. Tapi, warga biasa, dari halaman rumah sendiri, tetap dapat berkontribusi pada perkembangan sains. Dan temuan pelanduk kalimantan itu bukan main-main.

Publikasi tersebut jadi yang pertama buat Panji sebagai first author. Sudah semenjak lama dia ingin bisa membuat publikasi ilmiah. Dan ternyata rejekinya ada pada pelanduk kalimantan.

Sebagai yang pertama, pubilkasi itu begitu nge-hype dan mampu menggoyang panggung sains. Berbagai media memberitakannya. Dari yang luar negeri, macam Guardian, NY Times, BBC, dan Mongabay, sampai yang nasional, seperti Kompas, Tempo, dan Kumparan.

Setelah publikasi temuan itu, Panji melakukan ekspedisi dengan tujuan mengumpulkan informasi dasar si pelanduk kalimantan. Dan, hasilnya terbit di edisi 37 ini dalam judul “Notes on the habitat, behaviour and vocalisations of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata.”

Banyak temuan penting dari hasil penelitian tersebut. Tentang habitat, misalnya. Dari tujuh lokasi di lanskap Perbukitan Meratus, si pelanduk hanya dijumpai di satu lokasi. Tak heran kalau dia begitu lama hingga akhirnya dapat "diketemukan kembali".

Keberadaan pelanduk kalimantan yang (sejauh ini) terbatas pada kawasan sekitar perbukitan karst Meratus itu menjadikannya istimewa. Pertama, ia endemik. Tak hanya di kawasan tersebut, namun juga Indonesia. 

Kebanyakan burung endemik pada pulau terbesar ketiga di dunia itu ada di wilayah Malaysia, tepatnya di Gunung Kinabalu. Kalau pun terdapat di sisi Indonesia, mesti cakupannya luas, termasuk juga di sisi Malaysia dan atau Brunei.

Selain pelanduk kalimantan, ada dua endemik Kalimantan lain yang juga (sejauh ini) hanya terdapat di wilayah Indonesia: kacamata meratus dan sikatan kadayang. Keduanya pun dari Pegunungan Meratus, spesies baru untuk sains, dideskripsikan Mohammad Irham dan kolega di tahun ini.

Keistimewaan kedua, ia berpotensi menjadi burung spesialis karst. Belum bisa 100% memang, mengingat peluang atau kemungkinan ia ditemukan di habitat lain masih terbuka. Namun, itulah temuan sejauh ini. Dan bila benar hanya ada di karst, ia mewakili kelompok unik yang hanya beranggotakan sedikit jenis.

Di Asia, bahkan mungkin dunia, hanya sedikit contoh burung yang dikenal sebagai spesialis karst. Ada, misalnya Stachyris nonggangensis. Jenis tepus dari Nonggang ini hidup terbatas pada kawasan perbukitan karst di tenggara Guangxi, Cina dan ujung barat laut Vietnam. Status keterancamannya ada pada kategori Rentan atau Vulnerable.

Terdapat pula Nok hualon. Jenis cucak berwajah tanpa bulu ini hidup terbatas di perbukitan karst wilayah Luang Prabang hingga Salavan, Laos.

Namun, keistimewaan sebagai penghuni kawasan yang sangat spesifik, sempit, dengan sebaran amat terbatas itu berbanding lurus dengan besarnya potensi ancaman. Populasinya mesti kecil, dan akan cepat menghilang seiring eksploitasi, baik pada si burung maupun habitatnya. 

Tentu ini pr besar buat banyak pihak. Dan, penemuan kembali pelanduk kalimantan, pengumpulan satu per satu informasi dasar tentang kehidupannya, juga pengungkapan spesies-spesies baru di kawasan, menjadi cicilan pekerjaan di bidang sains yang sangat bernilai tinggi dan bermanfaat bagi upaya pelestarian.

Temuan-temuan ornitologi tersebut melejitkan Pegunungan Meratus, juga Kalimantan. Klaim Wallace lebih dari 160 tahun lalu jelas terpatahkan.


Artikel terkait Indonesia di BirdingASIA 37

Akbar, P.G., M. Suranto, Selamet, L.A. Saktyari, B. Emmanuel, T. Sundari, R.H. Muhardiansyah, A. Abdillah & A. Nabawi. 2022. Notes on the habitat, behaviour and vocalisations of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata. BirdingASIA 37: 15-22.

Collar, N.J. & R. Wirth. 2022. Conservation breeding and the most threatened (song)birds in Asia—ten years on. BirdingASIA 37: 23-41.

Huntuo, M., B.G. Anugra, B. Emmanuel, S. Mitchell, N.L. Winarni & H. Bashari. 2022. First breeding record of Moluccan Drongo-cuckoo Surniculus musschenbroeki and brood parasitism of Black-crowned White-eye Zosterops atrifrons. BirdingASIA 37: 82-84.


Bacaan

Akbar, P.G., T.W. Nugroho, M. Suranto, M.R. Fauzan, D. Ferdiansyah, J.S. Trisiyanto & D.L. Yong. 2020. Missing for 170 years—the rediscovery of Black-browed Babbler Malacocincla perspicillata on Borneo. BirdingASIA 34: 13-14.

Wallace, A.R. 1856. Observations on the zoology of Borneo. Zoologist 14: 5113-5117.

Comments

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi ...

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma...

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang...