Pada 8 Januari, Alfred Russel Wallace lahir. Tepat dua abad silam di tahun ini. Saya pun tergelitik untuk menulis tentangnya. Ringan-ringan saja, dan terkait burung tentunya.
Tulisan ini saya kirimkan ke sebuah media. Namun, tidak ada balasan atau pemuatan hingga lebih dari tiga minggu. Jadi, saya unggah saja di sini.
Ilustrasi bidadari halmahera dalam buku The Bird of Australia, Supplement (1869) karya John Gould |
Setelah beberapa hari berada di Bacan, Alfred Russel Wallace begitu tak kuasa menahan diri untuk menyurati Samuel Stevens, agennya di Inggris. Ia baru saja mendapatkan seekor burung dari Ali asistennya. Itulah bidadari halmahera, burung terbaik dan terindah dari Maluku Utara.
Baik Wallace maupun Ali belum pernah sekalipun melihat sang bidadari. Perjumpaan pertama tersebut membuatnya sedemikian bersemangat. “Sebelumnya saya terpikir untuk merahasiakannya,” ungkap Wallace dalam surat, “tetapi saya tak dapat membendung keinginan untuk memberi tahu Anda,” lanjutnya.
Sang naturalis lantas membeberkan ‘rahasia’ itu pada Stevens. Seakan memekik kegirangan, tulisannya penuh antusias dan penekanan. “Saya memiliki burung cendrawasih baru! Dari genus baru!! Sangat berbeda dari apa pun yang telah diketahui, sedemikian aneh, dan begitu rupawan!!!”
Surat tersebut bertarikh 29 Oktober 1858. Adalah George Robert Gray yang membacakannya lima bulan kemudian, tepatnya 22 Maret 1859, kala memperkenalkan sang bidadari kepada khalayak sains. Peristiwa itu berlangsung di London, dalam forum pertemuan perhimpunan peneliti hewan masyhur bernama Zoological Society.
Gray yang merupakan pakar burung dari British Museum, terlebih dahulu mempelajari dan membandingkan bidadari halmahera dengan burung cendrawasih lain yang telah diketahui. Menariknya, Gray melakukan itu hanya berbekal surat Wallace tersebut dan sebuah sketsa buatan sang naturalis yang disertakan bersama surat.
Dalam surat, Wallace memberi penjelasan pada Stevens atas gambar sketsa sederhana sang bidadari. Ia seperti berkelakar. “Saya tidak bisa berbuat banyak saat membuat gambar burung, selain daripada mengirimkan sketsa yang mengerikan atas penemuan saya,” ujarnya, “agar Anda tidak mati karena penasaran.”
Atas temuan itu, Gray lantas mengusulkan nama Semioptera wallacii. ‘Semioptera’ berakar dari dua kata bahasa Yunani. Semeia atau semeion berarti bendera dan ptera berarti sayap. Nama itu merujuk pada dua pasang bulu-bulu putih yang amat khas dan mencolok pada sang bidadari. Bulu-bulu yang mencuat di kanan dan kiri burung tersebut ibarat panji-panji, menyerupai sayap. Sementara ‘wallacii’ mengacu pada nama Wallace.
Kutipan surat bersama pemaparan Gray dalam forum, kemudian tertuang di Proceedings of Zoological Society of London. Jurnal milik perhimpunan zoologi tersebut memublikasikannya di edisi ke-27 yang terbit 1859.
Baru sekira tiga bulan kemudian awetan bidadari halmahera dari Wallace tiba. Dalam pertemuan perhimpunan selanjutnya pada 28 Juni, beberapa pasang jantan dan betina lantas dipamerkan. Awetan-awetan itu kemudian disimpan di British Museum.
Sang bidadari menjadi burung surga keempat untuk museum tersebut. Philip Lutley Sclater dalam makalahnya di tahun 1860, “Note on Wallace's Standard-wing, Semioptera wallacii”, menyebut tiga lainnya. Seturut makalah yang terbit di jurnal Ibis edisi 2(5) itu, terdapat cendrawasih besar Paradisea apoda, cendrawasih kecil Paradisea papuana (kini Paradisea minor), dan cendrawasih raja Cicinnurus regius. Seluruhnya merupakan hasil koleksi Wallace.
Setelah Bacan, Wallace kemudian kembali mendapatkan sang bidadari dari Ali. Kali itu berasal dari Halmahera. Ia melihat adanya sedikit perbedaan dengan burung dari Bacan. Menurutnya, burung di Halmahera memiliki tengkuk lebih keunguan dengan bulu perisai dada yang lebih besar.
Perbedaan itu baru diteguhkan oleh Tomasso Salvadori lebih dari dua dekade kemudian. Pada 1881, peneliti burung asal Italia itu memperkenalkan burung di Halmahera sebagai anak jenis yang berbeda.
Meskipun wujud sketsa dari Wallace tak banyak diungkap, namun berbagai literatur perburungan yang terbit kemudian mampu menghadirkan kemolekan sang bidadari. Tertuang dalam gambar ilustrasi maupun foto yang tampil dalam berbagai pose.
Tak terkecuali pada Burung-burung Indah Maluku Utara (2021) karya Akhmad David Kurnia Putra, Adriel L. Muda, dan Mahroji. Dalam buku fotografi yang memuat 126 jenis burung Moluku Kie Raha itu, bidadari halmahera terpampang sebagai sampul muka, hasil karya David sang penulis pertama. Ulasan tentang buku tersebut dapat dibaca di sini: Rajutan pengetahuan dalam "Burung-burung Indah Maluku Utara".
David (38), yang dihubungi lewat telepon (5/1/2023), lantas berbagi kisah kala pertama kali mengamati sang bidadari. Peristiwanya terjadi 12 tahun lalu.
“Kesan awal? Indah banget, indah banget,” ujar kelahiran Tuban itu singkat. Ia begitu terpukau. Keindahan yang dilihatnya sungguh tak mampu ia wakilkan dengan kata-kata lain. Saat itu, David harus memanjat pohon setinggi kurang lebih 12-15 meter. Staf pada Taman Nasional Aketajawe Lolobata itu meniti tali demi melihat perilaku unik sang bidadari.
Menurutnya, ada dua waktu pengamatan terbaik. Bila di pagi hari, “Antara jam 6.10-7.30,” jelasnya, “kalau beruntung bisa sampai jam 9.” Sementara di sore hari, dimulai dari jam 17.30.
Burung yang persebarannya terbatas di Bacan, Kasiruta, dan Halmahera itu menjadi fauna identitas Provinsi Maluku Utara. Ada yang menyebutnya dengan nama weka-weka. Menurut David, itu merujuk pada woka, sejenis palem berdaun lebar. Penamaan itu karena suara sang bidadari yang keras dan berisik seperti tanaman woka.
Namun, masyarakat suku Tobelo Dalam di Halmahera punya panggilan lain. Mereka mengenalnya dengan nama hohoroga matotoku.
“Artinya, jalan surga atau jalan menuju surga,” jelas David. Ia tidak mengetahui persis maknanya. Namun, mungkin itu terkait perilaku si burung. Sang bidadari kerap terlihat memeragakan tarian kawin sembari bertengger di batang pohon-pohon tinggi, terkadang bahkan dilakukannya sembari terbang.
Laporan penelitian Hanom Bashari untuk Burung Indonesia pada 2010 menggambarkan bentuk tarian di udara tersebut. Laporan berjudul “Kajian status dan habitat bidadari halmahera Semioptera wallacii di kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata, Pulau Halmahera, Maluku Utara” itu menyebut, dari pucuk pohon, jantan akan terbang tinggi sampai sekira 10 meter. Setelahnya, ia akan turun ke pohon yang sama dengan gaya seperti melayang, sambil sedikit berputar-putar.
Sang bidadari tak hanya berbulu molek dan memiliki tarian indah. Keberadaannya di Maluku Utara, jauh dari tanah Papua sebagai pusat persebaran cendrawasih, juga membawa kekaguman tersendiri buat Wallace. Ia begitu mengistimewakannya. Dalam mahakaryanya, The Malay Archipelago (1869), ia sampai menyebut sang bidadari sebagai sebuah hadiah besar.
Pernyataan itu sejatinya menegaskan surat dari Bacan, di kali pertama sang bidadari ia dapatkan. “Saya menganggapnya sebagai penemuan terbesar yang pernah saya buat,” aku naturalis yang lahir pada 8 Januari 1823, persis dua abad lalu, itu.
Comments
Post a Comment