Skip to main content

Rajutan pengetahuan dalam "Burung-burung Indah Maluku Utara"

Sampul depan "Burung-burung Indah Maluku Utara".

Di satu waktu, Akhmad David Kurnia Putra mengatakan kalau ia tengah berusaha mengumpulkan foto-foto burung se-Halmahera. Rupanya jauh lebih luas lagi, menjadi sebagaimana judulnya, Burung-burung Indah Maluku Utara.

Mas David, demikian saya biasa menyapa, mungkin awalnya merasa terpanggil dan penasaran. Hingga kemudian berupaya mendokumentasikan sebanyak-banyaknya jenis burung yang ada di sepenjuru Moluku Kie Raha. 

Bersama Adriel L. Muda dan Mahroji, ia “keluar” dari Taman Nasional Aketajawe Lolobata, tempatnya bekerja. Sesuatu yang harus diapresiasi tinggi. Menunjukkan kalau mengamati dan mendokumentasi burung menjadi penyaluran minat dan kecintaan mereka para polisi hutan (sementara Pak Mahroji adalah tenaga kontrak dan pemandu wisata burung). Sebuah penegasan kalau mengamati burung tak sekadar tuntutan pekerjaan, tak sebatas lingkup wilayah kerja. Ia menjadi sarana untuk terus berkarya.

Saya tentu harus menyebut itu. Di 2017, trio ini menerbitkan Burung-burung Taman Nasional Aketajawe Lolobata dan Buku Saku Pengamatan Burung Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Kalau cepat berpuas diri, mungkin usai merampungkan buku-buku tersebut, ketiganya pun akan merasa cukup dan selesai. 

Tetapi justru sebaliknya, itu malah membuka keinginan yang lebih jauh. Jadilah kemudian Burung-burung Indah Maluku Utara ini. Karya hasil dari main-main, namun isinya tidak main-main. 

Mari kemudian bergeser ke isi.

Mencuplik catatan di awal buku, 126 dari total 311 jenis burung Maluku Utara tertuang di dalamnya. Jumlah yang tentu berbeda bila mengacu sumber taksonomi lain.

Banyak hal yang layak menjadi sorotan dari buku bersampul depan bidadari halmahera itu. Pilihan format, misalnya. Mas David dan kawan-kawan menyajikan karya lebih dari 204 halaman itu dalam bentuk buku fotografi, berdimensi 20,2 x 24 cm.

Pilihan tidak biasa. Namun, menjadikan foto-foto yang ada begitu dominan—dan tentu saja mengesankan. Nyaris tiap jenis diwakili oleh foto berukuran sehalaman penuh. Tangkapan berbagai momen menarik, seperti kala burung berbiak, makan atau terbang, jadi sangat menonjol. Foto tereksekusi dengan baik, sekaligus bernilai tinggi secara pengetahuan.

Tak jarang satu jenis tersuguh dengan 3-4 foto, yang pada cekakak-pita biasa bahkan hingga 7 foto! Raja udang berekor panjang itu tampil saat bersarang dan bertengger. Terwakilkan oleh dua anak jenis dari total tujuh di Maluku Utara: browningi (endemik Halmahera) dan doris (endemik Morotai). Perbedaan keduanya ditunjukkan dengan menyandingkan kedua burung dewasa (hal. 121) dan anakan (hal. 123).

Halaman cekakak-pita biasa. 

Sedikit yang menurut saya agak kurang. Data teknis dan nama fotografer tertulis di tiap foto, namun sayangnya tidak dilengkapi tanggal pemotretan dan juga keterangan foto (caption). Bila terbubuhi tanggal, pada foto-foto berbiak misalnya, tentu dapat membantu pembaca untuk langsung mengetahui dengan cepat periode waktunya.

Para penyusun lebih memilih untuk menyelipkan informasi foto dalam uraian. Hanya di beberapa jenis, misalnya mandar gendang dan raja-udang biru-langit, termuat detil waktu pengambilan gambar.

Satu hal lain, uraian untuk tikusan alis-putih dan mandar-padi kalung-kuning tersusun terbalik. Mengacu foto, uraian tikusan alis-putih semestinya berada di sebelah kanan. Bagi yang tidak mengenali, akan menganggap foto mandar-padi kalung-kuning adalah tikusan alis-putih. Lebih-lebih melihat tak ada yang aneh karena si mandar juga beralis putih.

Temuan-temuan penting dan menarik

Namun, hal tersebut tak mengurangi bobot uraian tiap jenis yang kaya akan informasi menarik dan penting. Dari sisi ornitologi, penjelasan temuan berbiak, seperti waktu dan bentuk sarang, jelas menambah bobot pengetahuan. Apalagi pada jenis yang perkembangbiakannya sedikit diketahui macam brinji-emas halmahera, cikukua halmahera, dan kepudang halmahera.

Tiga itu contoh jenis endemik. Mewakili yang non-endemik, ada junai mas. Mas David bersama Mufti Abdul Murhun dan Hanom Bashari telah terlebih dahulu melaporkan keberadaan ribuan ekor yang bersarang di Pulau Jiew (tertulis P. Jien di peta dalam buku) dalam The incredible Nicobar Pigeon Caloenas nicobarica nesting colony on Pulau Jiew, North Maluku, Indonesia. Terbit di BirdingASIA edisi Juni 2021, makalah enam halaman itu pun bertabur foto-foto memukau. 

Temuan penting lain berupa rekaman jenis jarang. Itik rumbai, misalnya. Meski tidak menyebut waktu perjumpaan, sepertinya kehadiran satu jantan dari kawasan taman nasional itu menjadi yang kedua untuk bioregion Maluku. Sebelumnya, seekor jantan dijumpai pada satu danau dekat Galela, juga di Halmahera, 4 April 2016. 

Akan lebih baik lagi ketika temuan-temuan penting yang ada bisa terpublikasi dalam makalah ilmiah. Memuat informasi yang lebih detil, sehingga dapat menjadi rujukan kokoh.

Penggalian etnoornitologi 

Sorotan selanjutnya ada pada informasi burung dan budaya setempat. Muatan informasi ranah etnoornitologi ini tersaji dalam penyebutan nama-nama lokal. Junai mas, misalnya, disebut kum-kum tanah (Desa Kobe, Halmahera Tengah) atau pote garehe (Dusun Tukur-tukur, Halmahera Timur). Jauh berbeda. Sangat mungkin masyarakat dari wilayah lain di Halmahera punya penyebutan yang berbeda lagi.

Itu pertama. Lalu, penggalian cerita, mitos atau perlambang juga banyak tersuguh dalam buku. Ada tentang Goheba Madopolo Romdidi, burung garuda berkepala dua yang jadi lambang Kesultanan Ternate. 

Kipasan kebun, yang dikenal dengan baikole, tak kalah menarik. Nama burung hitam putih itu sampai tersemat sebagai gelar pada seorang panglima. Sebagaimana dijelaskan Husain Alting Sjah, Sultan Tidore, dalam pengantar buku.

“Konon pada masa lalu di jazirah Halmahera ada seorang lelaki yang mempunyai kemampuan dan kegesitan dalam menaklukkan musuh-musuhnya,” jelas Sultan. “Kelincahannya bisa melompat kesana kemari secara cepat seperti seekor burung. Itulah yang kemudian oleh Sultan pada masa itu mengangkat yang bersangkutan dan memberinya gelar Kapita Baikole.” 

Hasil pengamatan penyusun seakan makin memperkuat kisah tersebut. Kipasan kebun dijelaskan sangat berani menjaga teritori dan kerap menyerang burung lain yang berukuran jauh lebih besar. Selain itu, ada pula kepercayaan masyarakat setempat yang meyakini kalau menembak atau memburu si burung akan mendatangkan bala berupa hujan lebat dan angin kencang. 

Uraian-uraian semacam itu jelas menunjukkan kegigihan para penulis. Tak hanya untuk mengejar burung, tetapi juga dalam mengungkap cerita dan pengetahuan lokal. Penggalian tekun lewat bacaan, juga dari interaksi hangat dan obrolan akrab bersama masyarakat setempat. 

Kekayaan pengetahuan lokal seperti itu memang mestinya tak boleh dilupakan. Bahkan perlu diberi ruang lebih dalam terbitan mengenai burung satu wilayah. Menghadirkannya jadi sebentuk penghargaan pada mereka, pemilik pengetahuan yang telah tersimpan lama dan mengakar kuat, jauh sebelum datangnya Wallace.

Salut atas upaya para penulis yang berhasil merajut pengetahuan dalam buku ini. Dengan sepenuh hati saya menjura.

Data buku

Judul: Burung-burung Indah Maluku Utara

Penulis: Akhmad David Kurnia Putra, Adriel L. Muda, dan Mahroji

Jumlah halaman: 204+

Tahun terbit: 2021

Penerbit: Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi ...

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang...

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa. Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa. Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana. "Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya." Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya. Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyeb...