Skip to main content

Tahun baruan ala Thomas Horsfield

 

Kompleks Gede-Pangerango yang tertutup awan

Buat Thomas Horsfield yang menghabiskan 17 tahun di Jawa dengan melulu ngetrip, riset, dan kerja pengoleksian, tahun yang berganti mungkin tak sempat ia rayakan. Tak ada pesta kembang api, kongkow bareng teman atau sekadar bikin resolusi.

Seringnya ia sibuk bepergian, dalam perjalanan atau asyik blusukan. Seperti pada 1 Januari 1818. Persis di hari itu, lebih dari dua abad lalu, ia tiba di Samarang. Sang naturalis baru saja berkeliling wilayah tengah Jawa, ke beberapa lokasi yang pernah ia datangi sebelumnya. 

“Saya menutup penelitian saya di wilayah kekuasaan Kesultanan dengan mengunjungi bangunan bersejarah Borobudur, di Kedu, juga ke Brambanan dan Jandi-sewu, di Mataram,” ungkap Horsfield dalam Plantae Javanicae Rariores. Lantas, “mengarah ke timur, saya melalui wilayah Sokkowati dan Grobogan, mengunjungi sekali lagi gunung api lumpur Kuwu, dan ke arah barat melewati Damak, mencapai kota Samarang pada 1 Januari 1818.”

Perjalanan bertema arkelogi, geologi, dan botani itu jadi yang terakhir baginya untuk kawasan tengah Jawa. Tak berselang lama, Horsfield kemudian kembali angkat ransel. Sang naturalis bermaksud mengeksplorasi wilayah barat: Bantam dan Priangan. 

Namun, baru beberapa minggu di Bantam, eksplorasinya harus sedikit tertunda. Saat menyempatkan ke Batavia, ia menerima sepucuk surat dari Sir Stamford Raffles. Sang Letnan Gubernur yang telah berada di Bencoolen, kembali mengajaknya bertualang ke Sumatera.

Horsfield pun memenuhi ajakan itu. Bertolak dari Samarang, ia berlayar ke Bencoolen menaiki Lady Raffles. Kapal itu membawa seluruh paket koleksinya yang akan diangkut ke Inggris. Dan setibanya di Bengkulu, barulah ia berkenalan dengan Sophia Hull, sang Lady Raffles sebenarnya.

Dari Bencoolen, Horsfield melanjutkan perjalanan ke Padang bersama Raffles. Dalam pelayaran yang tenang menyusuri pesisir barat Sumatera, Horsfield mempersembahkan yang ia bawa pada sang penguasa.

“Seluruh koleksi saya ada di kapal, dan sejumlah peti sengaja dibiarkan dapat diakses,” terang Horsfield. Hal yang kemudian membuat Raffles dapat dengan leluasa melihatnya. Horsfield lantas menjelaskan yang dilakukan sang Letnan Gubernur. 

“Ia pun memeriksa begitu banyak hewan berkaki empat, burung dan serangga, serta spesimen botani dan geologis, yang memungkinkannya memperkirakan tingkat cakupan koleksi bidang-bidang ini, dan kondisi pengawetannya,” tukas Horsfield. Raffles juga, “memeriksa gambar, peta, dan manuskrip dengan penuh perhatian, dan karenanya mampu memberikan penjelasan yang utuh secara personal.”   

Bersama Raffles, Horsfield kemudian menghabiskan beberapa bulan di wilayah Sumatera Barat. Hingga menjelang penghujung tahun, barulah sang naturalis kembali ke Jawa. 

Dari Batavia, ia kembali menuju Bantam. Lantas memasuki wilayah Priangan melewati daerah pedalaman. Dari Tji-anjur, Horsfield kemudian mendaki Gunung Gede—pendakian, sekaligus petualangan terakhirnya di tanah Jawa. 

Dan seakan terjadilah pengulangan tahun sebelumnya. Di pergantian tahun menuju 1819, Horsfield kembali dalam perjalanan. Juga ke Samarang, meski kali ini dari barat.

“Di Januari 1819, saya berangkat berlayar dari Samarang,” terang Horsfield, “dan memasuki Juli saya tiba di London,” pungkasnya. 

Tahun demi tahun berganti. Terhitung 40 tahun masa hidupnya kemudian ia habiskan di Inggris. Hingga tutup usia pada 24 Juli 1859, Horsfield, beserta seluruh koleksinya, tak pernah lagi menyentuh tanah Jawa.

Comments

  1. Sepertinya kalau mengacu rute, Sokkowati yang dimaksud Horsfield adalah Sragen. Betul mas?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Di era itu, keduanya tempat yang berbeda, tapi memang berdekatan. Sokkowati (kadang tertulis juga Socowati atau Sukowati) adanya persis di barat Seragen. Dua tempat itu ada di sisi-sisi yang berseberangan dari Bengawan Solo. Kalau sekarang, iya, masuk wilayah Sragen.

      Delete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa. Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa. Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana. "Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya." Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya. Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyeb