Skip to main content

Gang-gang Sepi Ornitologi Negeri: Etnoornitologi

Boneka kayu kailaba dari Mentawai yang terpajang di Museum Adityawarman, Padang.

Ibarat jalan raya, ornitologi Indonesia tak lagi terasa lengang. Di banyak bidang, perkembangannya terlihat pesat, ramai oleh berbagai temuan, hiruk-pikuk publikasi, dan kegiatan yang berlalu-lalang. 

Tapi, bila menelusuri jalan itu sedikit lebih dalam, ternyata banyak gangnya yang masih terbilang sepi. Empat bidang yang setidaknya terasa kering, minim kajian. Kita mulai dari etnoornitologi.

Sebagaimana kita tau, negeri ini kaya akan suku, bahasa, juga adat istiadat dan budaya. Setiap suku yang mendiami Nusantara dapat dikatakan memiliki kedekatan tersendiri dengan alam. 

Terkait itu, akan ada hubungan, persinggungan antara manusia dan burung. Terwujud dalam mitologi, simbol-simbol, nama-nama lokal, atau cerita-cerita. Menjelma dalam beragam bentuk karya seni: lagu, tari, gambar, ukiran, patung, pantun, dan banyak lagi.

Etnoornitologi menjadi satu bidang ilmu untuk mengungkap hal-hal itu. Dan dengan keunggulan Indonesia, kajian etnoornitologi seperti ladang yang tidak akan pernah habis untuk digarap. Menggalinya, seperti membangun jembatan yang akan menghubungkan sumber pengetahuan yang telah mengakar di masyarakat setempat ke masyarakat luas. 

Di era sekarang, kita beruntung ada orang seperti Prof. Johan Iskandar. Guru besar etnobiologi Universitas Padjadjaran ini menjadi yang terdepan dalam upaya menggali pengetahuan lokal, terutama yang ada di masyarakat Sunda. 

Berbagai publikasinya mampu mengisi kekosongan. Sebut, misalnya The local knowledge of the rural people on species, role and hunting of birds: case study in Karangwangi Village, West Java, Indonesia. Makalah ilmiah tersebut terbit di Biodiversitas, 2016.

Di bidang yang sepi ini, pionir dunia pengamatan burung tersebut telah menerbitkan dua buku. Ornitologi dan Etnoornitologi terbit pada 2017. Judul terbaru, Ornitologi, Nama-nama Lokal Jenis-jenis Burung Indonesia, terbit di tahun lalu.

Ada pula Gregory Forth, profesor antropologi University of Alberta. Ia banyak mengkaji di wilayah Indonesia timur, salah satunya dengan menyelami pengetahuan masyarakat Nage, Flores. Words for 'bird' in Eastern Indonesia dan What’s in a bird’s name: relationships among ethno-ornithological terms in Nage and other Malayo-Polynesian languages menjadi sedikit contoh hasil kajiannya. Selain Nage, Forth juga banyak meneliti pengetahuan masyarakat Sumba Timur.

Ya, kajian etnoornitologi bisa dimulai dari menggali nama-nama lokal burung yang digunakan masyarakat setempat. Dalam banyak makalah tua, nama lokal kerap dicantumkan menyertai nama ilmiah. 

Mengangkat nilai-nilai lokal, pengetahuan yang dimiliki masyarakat setempat, akan sangat berguna bagi konservasi spesies. Mengajak kepedulian atau menumbuhkan kesadaran dan kecintaan, mungkin bisa lebih manjur bila disampaikan dalam bahasa dan istilah setempat. Mungkin dapat lebih menggugah ketika dibarengi dengan penyampaian nilai-nilai tradisi dan kearifan setempat. 

Itu yang jadi latar belakang dalam penyusunan buku Burung-burung Kepulauan Mentawai. Tanpa bermaksud menjadikannya sebagai kajian etnoornitologi, dalam buku tercantum nama-nama lokal untuk tiap jenis yang diuraikan. Penggalian nama lokal tersebut bersumber dari publikasi yang ada dan berbagai sesi rembug. Kami bertanya pada tokoh dan orang-orang tua. 

Mengingat begitu uniknya masyarakat Mentawai, ingin rasanya menggali lebih jauh lagi kedekatan mereka dengan burung. Meski satu suku, namun terdapat setidaknya tiga bahasa setempat. Itu belum ragam dialeknya. Masyarakat Siberut Selatan punya bahasa yang sama sekali berbeda dengan Siberut Utara. Penamaan untuk tiap jenis-jenis burung saya yakin berbeda. 

Itu baru soal nama. Jenis-jenis tertentu hadir sebagai perlambang, dihormati, disakralkan. Kangkareng perut-putih, misalnya. Dikenal dengan nama kailaba, ia menjadi omat simagre atau mainannya para roh. Gambarnya terukir di uma, rumah tradisional Suku Mentawai, dan secara khusus terdapat boneka kayu kailaba yang digantung di ruang tengah uma. Tujuannya agar dapat menyenangkan para roh sehingga tidak pergi meninggalkan uma atau menjadi sering kembali datang ke uma.

Sebagai hewan bersayap, kailaba juga dianggap sebagai penghubung antara alam atas dan alam bawah. Suaranya dianggap pembawa kabar akan adanya bencana. Ia salah satu hewan pantangan bagi sikerei. Memakannya akan membuat roh-roh marah yang mengakibatkan kemampuan sikerei berkurang.  

Di suku atau lingkungan Anda sendiri, pasti ada hal-hal semacam itu yang tentu menarik untuk digali. Mungkin juga lagu atau tarian-tarian yang terinspirasi atau bercerita tentang burung.  Ada yang tertarik menelusuri gang sepi ini?

Comments

  1. Ada mas, sempat penasaran ketika disebutkan masyarakat Siberut. Bukan sebagai pengunjung yang pernah ke sana, hanya senior di kampus yang lebih dulu bergiat di alam bebas pernah melakukan ekspedisi ke Siberut

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi ...

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma...

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang...