![]() |
Awetan bangau tongtong dan sandanglawe, terpajang di Fakultas Biologi Unsoed. |
Kalau ada bidang kajian perburungan Indonesia yang menantang dan nyaris kering kerontang dari publikasi, mungkin itu paleoornitologi. Cabang ilmu satu ini terbilang sangat sepi.
Publikasi hasil kajian fosil, temuan belulang tua dari penggalian di situs arkeologi, nggak mesti ada setahun sekali. Mungkin karena peralatan yang dibutuhkan berbeda dari kebiasaan. Bukan bino mono, melainkan kapak, cukil, dan kuas. Burungnya bukan pula yang di hutan, tetapi yang terpendam di situs-situs arkeologi.
Satu hal, disiplin ilmu yang mendasarinya memang berbeda. Namun, lewat bidang ini, Hanneke Meijer dan Rokus Awe Duwe mampu menemukan spesies burung baru—yang langsung masuk kategori punah.
Mereka menamainya Leptoptilos robustus. Tertuang dalam makalah berjudul A new species of giant marabou stork (Aves: Ciconiiformes) from the Pleistocene of Liang Bua, Flores (Indonesia). Makalah ilmiah di jurnal bergengsi Zoological Journal of the Linnean Society itu terbit pada 2010.
Wujudnya raksasa untuk ukuran bangau. Tinggi menjulang, melebihi Homo floresiensis. Keduanya diperkirakan hidup berdampingan pada masa yang sama, kira-kira 190 ribu tahun lalu.
Bermodal temuan serpihan tulang kaki, Meijer membandingkannya dengan bangau yang lain. Bangau tongtong yang sebesar itu nggak ada apa-apanya. Tongtong, yang tampangnya purba banget, paling ukurannya 1 meter.
Si bangau raksasa itu hampir dua kali lipatnya, 1,8 meter. Sama persis tingginya kayak Nicholas Saputra.
Masih dari situs yang sama, pada 2017 Meijer dan kolega menerbitkan makalah berjudul Late Pleistocene songbirds of Liang Bua (Flores, Indonesia); the first fossil passerine fauna described from Wallacea. Ada 89 serpihan belulang dari lokasi itu yang teridentifikasi sebagai burung petengger.
“Setidaknya delapan spesies dari delapan famili disajikan,” terang Meijer, “mencakup gagak kampung Corvus cf. macrorhynchos, branjangan jawa Mirafra javanica, sejenis cikukua Philemon sp dan apung pechora Anthus cf. gustavi.”
Memang, situs arkeologi di Indonesia yang jadi lumbung penelitian tidak banyak. Soal ini lagi-lagi saya harus merujuk Meijer. Pada 2014, wanita yang menjadi Associate Professor di University of Bergen, Norwegia, itu menyebut ada sembilan situs di Asia Tenggara yang memiliki temuan fosil burung. Tujuh lokasi ada di sini.
Selain Liang Bua yang telah mendunia, terdapat dua lokasi di Sumatera, yakni Sipang, Sangkareang dan Kandi, Sawahlunto. Di Jawa, ada Trinil, Sumber Kepuh, Watoealang, dan Wajak. Demikian sebagaimana tercantum dalam makalah The avian fossil record in Insular Southeast Asia and its implications for avian biogeography and palaeoecology.
Seiring waktu, temuan di lokasi lain terungkap satu per satu. Ada Mata Menge dan Bo'a Leza. Keduanya dari So'a Basin, Flores. Terbaru dari lokasi yang paling menarik menurut saya: Bumiayu. Temuan-temuan fosilnya berpeluang mematahkan teori Out of Africa!
Fosil-fosil tersimpan di Museum Buton, singkatan dari Bumiayu Tonjong. Hary Widianto, profesor riset di Balai Arkeologi DIY, mengungkap keberadaan temuan itu.
“Terdapat pula sejumlah fauna baru yang ditemukan pada himpunan koleksi museum ini,” urainya dalam Poros Bumiayu-Prupuk-Semedo: migrasi fauna dan manusia tertua di Pulau Jawa. “Fosil-fosil tersebut terdiri atas jenis fauna kecil yaitu kelompok aves yang dimwakili oleh tulang metopodial, jenis Ratus sp berdasarkan fosil tulang femur, dan kelompok Megachiroptera (kalong), yang teridentifikasi berdasarkan gigi taring."
Koleksi museum berasal dari beberapa warga setempat yang gigih dalam upaya pelestarian benda purbakala. Hasil pencarian para warga tersebut terkumpul di sana. Temuan di Bumiayu ini menambah panjang keberadaan situs penting di Jawa, selain Sangiran atau Trinil.
Fosil-fosil burung itu belum teridentifikasi. Menantang memang, karena nggak ada field guide-nya. Perlu membanding-bandingkan dengan yang lain untuk bisa mengungkap sampai tingkat spesies. Nah, yang lain itu banyak banget. Keragaman jenis burung kita luar biasa macamnya. Petunjuknya juga nggak banyak, cuma serpihan belulang kecil.
Bahkan, mengidentifikasi barang kecil itu dari bagian tubuh yang mana juga peer. Nggak terbayang hingga kemudian para arkeolog mampu merekonstruksinya jadi bentuk spesies yang utuh. Paleoornitologi memang tidak mudah.
Comments
Post a Comment