Skip to main content

Jejak Spesimen dari Yogyakarta

Dalam Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta, tertuang pernyataan dari Gerlof Fokko Mees. Terpampang guna membuka kata pengantar, kurator museum asal Belanda itu menulis begini:

The Sultanate of Djokjakarta is completely unknown; to my knowledge not a single bird has ever been collected there for scientific purposes.

Kutipan tersebut berasal dari buku yang ia terbitkan pada 1996, Geographical variation in birds of Java. Itu seakan menjadi penegasan akan miskinnya eksplorasi burung di Bumi Mataram—setidaknya yang berlangsung sepanjang era keemasan pencarian dan penemuan hal baru.

Yogyakarta sebagai wilayah bertuan, memang seperti dilewatkan. Mungkin tak sembarang orang bisa dan berani menjelajah. Harus seizin sang penguasa tanah Mataram. Mungkin para naturalis berpikir wilayah Yogyakarta nggak ada apa-apanya dibanding luasnya wilayah Jawa yang ada di penguasaan kolonial. 

Daripada sulit dan repot, lebih baik berfokus pada daerah lain di barat, tengah, dan timur di luar penguasaan keraton. Siapa sih yang tahan dengan rumit dan ribetnya birokrasi? Iya kalau dapat izin. Begitu kira-kira dalam imajinasi saya.

Namun, ternyata wilayah Yogyakarta tetap ‘menyumbang’ spesimen. Setidaknya, di sepintas penelusuran saya, ada dua koleksi yang Mees lewatkan. Kita kupas jenisnya satu per satu.

Cerek jawa

Cerek jawa dari Pantai Trisik

P. J. Bouma mengoleksinya dari Pantai Glagah (mohon maaf sebelumnya, saya kok nggak nemu kepanjangan namanya). Frederick Nutter Chasen yang menyebut itu dalam makalahnya yang memperkenalkan burung pantai penetap ini sebagai taksa baru. Di makalah berjudul Vier neue Vogelrassen aus Malaysia itu, Chasen mendudukkan cerek jawa sebagai subspesies baru: Charadrius alexandrinus javanicus.

Sebelumnya, si mungil ini sebatas dianggap sebagai Charadrius peronii, cerek melayu. Lantas, di hampir tiga dekade setelah Chasen, Andries Hoogerwerf memberi penegasan keabsahan taksa itu.   

Sayang, tidak disebut tanggal dan jumlah spesimen yang dikoleksi Bouma dari pantai timur bandara Yogyakarta International Airport tersebut. Namun yang pasti, bersama spesimen yang dikoleksi  Hoogerwerf dari pesisir Jakarta, total terdapat empat jantan dan lima betina yang Chasen kaji. 

Mengacu dari tahun terbit makalah, bisa dipastikan kalau waktu pengoleksian berlangsung tidak melebihi tahun 1938. Kemungkinan besar sebelum 1938. Ini mungkin berkaitan dengan pengoleksian jenis kedua.

Buntut-sate putih

Buntut sate putih di Ngongap

Awal Juni 1936, Bouma bersama Max Bartels Jr, budhal ke Rongkop, Gunungkidul. Mereka datang untuk membuktikan laporan dari L. L. A. Maurenbrecher—lagi-lagi saya luput menemukan nama lengkapnya. Pegawai kontroler yang bertugas di Wonosari itu menyebut keberadaan buntut-sate putih di tebing bebatuan kapur tepian daratan Jawa tersebut. 

Maurenbrecher mengaku telah melihatnya semenjak beberapa tahun. Tidak hanya menjumpai yang melintas, tetapi juga berbiak! Bagi si sulung Bartels dan Bouma, itu adalah berita besar. Sebelumnya, sekadar keberadaan burung yang namanya diambil dari anak Dewa Apollo itu bahkan masih simpang-siur. 

Ibarat pengamat burung sekarang yang langsung (kepingin) cus kalau ada laporan perjumpaan burung aneh di satu lokasi, Bartels dan Bouma lalu datang ke Rongkop. Hasrat mereka begitu menggebu. Kalau sekarang, mungkin target mereka nge-twitch atau mengantongi foto. Minimal buat tambahan koleksi, sukur-sukur aplot di medsos. 

Duo kompeni itu lantas berkemah di lokasi, persis di atas gua sarang walet berada. Di sana mereka berhasil membuktikan keberadaan si buntut satek putih dan mengamati perilakunya.

“Burung-burung itu biasanya terbang ke laut di ketinggian sekitar 20-40 m dan menukik begitu tiba dekat dinding tebing pantai, melintas dengan sangat cepat ke dalam busur bebatuan yang indah, terbang rendah di atas ombak dan kembali lagi ke laut,” kira-kira demikian saksi Bartels dan Bouma dalam De Tropsiche Natuur. “Kecantikan penampilan mereka terbang begitu luar biasa, kontras dengan buih yang menutupi biru tuanya air.

Itu sekadar terjemahan bebas tak bertanggung jawab dari saya saja ya. Mohon maaf (lagi), soalnya sekadar memanfaatkan layanan google translate.

Setidaknya terdapat lima pasang yang terhitung. Saat itu, Maurenbrecher memerintahkan para pemanen sarang walet untuk turun mengecek rekahan tebing, memastikan keberadaan sarang si buntut sate, namun nihil. Mereka tidak berhasil mendapatkan satu spesimen pun.

Bartels berpesan pada Maurenbrecher untuk melakukan pengecekan kembali di bulan selanjutnya. Dalam Ornithologische Monatsberichte, ia menjelaskan lebih lanjut ihwal pengoleksian. 

“Satu bulan kemudian, baru diketahui ada burung yang tengah mengeram. Sarang yang disebutkan di atas diperiksa kembali pada tanggal 19 Juli,” tulisnya. “Dan sukses: kali ini ada seekor induk burung tropis di dalamnya, yang kemudian—membiarkan dirinya sendiri dengan mudah ditangkap menggunakan jaring di ‘sarang’—menjadi koleksi kami bersama dengan satu-satunya telur yang saya terima dari Tuan Maurenbrecher.”

***

Karena penasaran, saya sedikit mencari tahu keberadaan spesimen-spesimen tersebut kini. Namun, tidak menemukan titik terang. Untuk cerek jawa, mungkin ada di Museum Zoologi Bogor. Chasen menulis itu di spesimen tipe milik Hoogerwerf yang ia kaji. Meskipun, sebagai catatan, pada 1953 Hoogerwerf menyatakan kalau spesimen tipenya itu hilang saat huru-hara di masa pendudukan Jepang. 

Pun dari museum Leiden (National Museum of Natural History). Penelusuran, baik lewat katalog tertulis maupun online, tidak saya temukan informasi keberadaan spesimen cerek jawa dari Yogyakarta. Begitu juga dengan spesimen maupun telur buntut-sate putih. 

Begitulah. Mungkin ada lagi spesimen lain dari Yogyakarta, yang semua sebenarnya sudah tersebutkan di satu-dua makalah perburungan. Saya saja yang malas membaca dan kurang usaha.  

Sumber

Bartels, M. & P. J. Bouma. 1937. Keerkringsvogels en slechtvalken aan Java's zuidkust [Burung buntut-sate dan alap-alap kawah di pantai selatan Jawa]. De Tropische Natuur 26(7): 108-111.

bioportal(dot)naturalis(dot)nl

Chasen, F. N. 1938. Vier neue vogelrassen aus Malaysia [Empat anak-jenis burung baru dari Malaysia]. Ornithologische Monatsberichte 46: 6-7.

Bartels, M. 1937. Zwei für Java neue Brutvögel [Dua jenis burung berbiak baru dari Jawa]. Ornithologische Monatsberichte 45: 16-19.

Hoogerwerf, A. 1966. On the validity of Charadrius alexandrinus javanicus Chasen and the occurrence of Charadrius alexandrinus ruficapillus Temm. and of Charadrius peronii Schl. on Java and in New Guinea. Philippine Journal of Science 95(1): 209-214.

Mees, G. F. 1996. Geographical variation in birds of Java. Nuttal Ornithological Club: Massachusetts.

Taufiqurrahman, I., I. P. Yuda, M. Untung, E. D. Atmaja & N. S. Budi. 2015. Daftar burung Daerah Istimewa Yogyakarta. Yayasan Kutilang Indonesia: Yogyakarta.


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa. Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa. Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana. "Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya." Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya. Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyeb