![]() |
Kecembang gadung dari Siberut, 2017. |
Edward Jacobson tidak tahu kalau narasumbernya sama sekali tidak tahu nama dari kecembang gadung. Sang narsum, yang asli Sunda, bilang, 'duka'. Dalam bahasanya, itu artinya nggak tau.
Bisa juga teu nyaho. Tetapi, duka yang disebut. Dan itulah yang dikira Jacobson sebagai nama si kecembang. Dicatat saja olehnya, yang kemudian dipublikasikan Eduard Daniël van Oort dalam makalah tentang burung-burung Jawa bagian barat dan Krakatau, terbit 1910. Di uraian mengenai jenis itu, van Oort memberi keterangan: ‘Sundaic name: doeka’.
Jacobson pun cepat menyadari kekeliruannya dan menerbitkan satu makalah di tahun yang sama. Ia membuat pengakuan:
Kesalahan yang agak menggelikan terjadi karena ketidaktahuan saya tentang bahasa Sunda. Nama Irena puella turcosa Walden di halaman 138 yang saya sebut sebagai ‘doeka’, dalam bahasa Sunda berarti saya tidak tahu.
Untung kejadiannya bukan sekarang-sekarang. Sang narsum bisa saja jadi menjawab agak lebih panjang. Kayak misalnya, 'Ya Ndak Tahu, Kok Tanya Saya'. Eh, tapi itu bukan Sunda.
![]() |
Teks dalam makalah van Oort, 1910. |
Jacobson pun memberi penjelasan dan banyak perbaikan atas nama-nama lokal yang kadung tercantum dalam makalah van Oort. Ia menyebut, seringkali masyarakat setempat memberi keterangan yang tidak tepat padanya. “Daripada memperlihatkan ketidaktahuan atau mengecewakan saya, mereka kadang memberikan nama hasil temuan mereka sendiri, jika nama sebenarnya tidak mereka ketahui,” ungkapnya.
Iya lah. Tentu tidak semua orang tau burung. Dan lagi, menjawab jujur dengan bilang tidak tau di alam kolonialisme seperti saat itu adalah sebuah keberanian yang langka. Jacobsonnya saja yang khilaf. Tetapi, makalah Francis Nicholson (1881) sudah menyebut boorung katchem-bang. Salah satu penamaan asal Korsala, Bantam (kini Banten). Dua lainnya, yaitu boorung tepus dan seram bodo.
Situasi sebagaimana penjelasan Jacobson mungkin terjadi untuk biru laut. Dalam kasus ini, Thomas Horsfield yang mengalami. Saya jadi berandai-andai membayangkan situasinya. Kira-kira begini:
Dalam satu eksplorasi, Horsfield seperti biasa membawa kru-nya, orang-orang setempat yang membantunya mengumpulkan spesimen. Di satu kunjungan ke pesisir, mungkin pas di Trisik, kru-nya mendapat banyak jenis burung pantai. Maklum, saat itu lagi musim migrasi.
Seperti biasa, Horsfield yang rajin mencatat pasti akan bertanya banyak hal, termasuk nama-nama.
“Ini namanya apa?” Tanya Horsfield sambil mengangkat burung pertama.
“Keeyo, Gan,” jawab seorang asisten.
“Oke,” ujar Horsfield sambil menulis ciri dan karakter si burung. Sehingga itu yang ia cantumkan dalam makalahnya di dua abad lalu sebagai nama lokal dari Totanus tenuirostris—yang kelak menjadi Calidris tenuirostris.
Oh, tapi maaf, tidak ada nama untuk sosok 'sang asisten'. Era itu masyarakat negeri ini hanyalah anonim. Nyaris tidak ada naturalis yang menyebut nama-nama mereka: para asisten lapangan, pemburu yang mencari atau menemukan burung untuknya atau para pemandu penunjuk jalan atau pengangkut barang. Tidak ada tempat bagi para pemberi informasi penting, seperti nama, lokasi maupun perilaku burung—bahkan untuk sekadar ucapan terima kasih.
Sosok mereka dianggap tidak penting untuk disebut, meskipun ahli-ahli itu mengenalnya. Cukup dinamai 'orang lokal' atau 'masyarakat setempat'. Karenanya, kalau Anda menulis buku atau makalah, sebut nama mereka-mereka yang membantu. Kalau perlu, sertakan sebagai penyusun. Jangan menganonimkan.
Balik ke Horsfield yang sedang panen burung pantai di Trisik. Proses tanya-jawab nama itu yang terjadi pada burung kedua, ketiga, dan seterusnya. Sehingga ada burchet untuk berkik (mungkinkah dari le mabur muni 'chet'?), juga benonchang untuk trinil kaki-hijau. Sampai Horsfield bertanya untuk satu jenis yang berukuran lumayan, jenjang, dan berparuh panjang.
Sang asisten sebenarnya tidak tahu namanya. Ia telah letih, tapi terus ditanya-tanya melulu. Tapi juga, rasanya kok gimana gitu kalau ia menjawab tidak tahu. Sudah tabiat umum kalau kita sulit untuk bilang tidak atau tidak tahu. Takut mengecewakan.
Di kebingungan, sang asisten menatap jauh ke lepas pantai. Ombak pantai selatan berkejaran, buih-buih tercipta di ujung gulungannya. Rambut hitam kemerahan sang asisten diuyel-uyel angin pesisir.
“Woy, yang ini namanya apa??” Tiba-tiba suara Horsfield menariknya kembali ke kesadaran.
“Bi-bi-biru lahut, Gan,” tergagap sang asisten menjawab. Laut Trisik yang ia pandangi memang sedang biru-birunya.
Kening Horsfield berkerut. “Lahut atau laut? Mosok pakai h?!” Ia mencoba memastikan. Sedikit-sedikit ia mengerti bahasa Melayu.
“Iya, lahut, Gan. Pakai h...”
![]() |
Uraian Horsfield untuk biru-laut ekor-hitam, 1821. |
Maka abadilah nama itu sebagaimana kita menyebutnya sekarang, meski kini h-nya ilang. Meski si biru laut sama sekali tidak ada biru-birunya.
Bacaan
Horsfield, T. 1821. Systematic arrangement and description of birds from the island of Java. Transactions of the Linnean Society of London 13: 133-200.
Jacobson, E. 1910. Notes on and additions to DR. E. D. van Oort's list of a collection of birds from western Java and from Krakatau. Notes from the Leyden Museum 33: 169-174.
Nicholson, F. 1881. List of birds collected by Mr H. O. Forbes in the island of Java. Ibis 23(1): 139-156.
van Oort, E.D. 1910. List of a collection of birds from western Java and from Krakatau. Notes from the Leyden Museum 32: 105-166.
Sepelik ini mas, buat saya. Tapi, untuk orang yang suka membuka literatur, ini adalah hasil yang hebat. lanjutkan mas Imam, siap menjadi pembaca yang budiman
ReplyDeleteWaah.. Suwun bro..
DeleteOw,. dadi nama Biru-la(h)ut iku wes gawan ket biyen to?,. apik apik,.
ReplyDeleteIyo, Man.. Tapi tetep jadi misteri
Delete