Adin di pematang menuju muara |
Demi melihat sungai-sungai dari Pegunungan Serayu Utara bermuara, saya dan Adin mendatangi ujungnya Kali Sengkarang, 17 Januari 2022. Selain karena penasaran, kunjungan ke pesisir Pekalongan ini jadi ajang kami mengikuti sensus burung air se-Asia atau Asian Waterbird Census.
Kali Sengkarang merupakan sungai besar di Petungkriyono barat. Mengalir sepanjang 52 kilometer, hulunya berada di dua titik: Simego dan Tlogopakis. Keduanya berada pada ketinggian di atas 1.000 meter.
Dalam perjalanan menuju hilir, banyak lagi kecamatan yang dilintasi, macam Lebakbarang dan Karanganyar. Aliran Sengkarang kemudian mewadahi sungai-sungai kecil yang bergabung. Beberapa yang cukup besar, mencakup Kali Wisnu dan Kali Kumenyep di barat. Sementara dari timur, bergabung Kali Blimbing, Kali Kuluran, dan Kali Welo.Pertemuan antara Kali Sengkarang dan Kali Welo itu menjadi yang paling akhir. Ditandai dengan keberadaan Bendungan Kletak di Kedungwuni. Seluruh sungai itulah yang membentuk Daerah Aliran Sungai Sengkarang. Berujung di Muara Sebakung, Desa Jeruksari, Kecamatan Tirto. Di bagian hilir ini, Kali Sengkarang memiliki nama lain, Kali Pencongan.
Titik yang pertama kami datangi adalah Krematorium. Jaraknya sekitar dua kilometer di timur muara, melewati area Pekalongan Mangrove Park. Namun, sebentar saja kami di sana karena menyadari lokasi muara masih terlalu jauh. Sulit dijangkau bila harus berjalan kaki menyusuri pantai.
Ada dua jenis burung air yang kami jumpai. Pertama, blekok sawah. Seekor yang teramati terbang rendah, melintas ke arah muara. Berikutnya, trinil pantai. Jenis migran ini tengah mencari makan. Hanya sebentar saja hingga tiba-tiba ia mampu menyergap seekor kepiting.
Trinil pantai yang memangsa kepiting |
Cerek jawa |
Caladi tilik |
Melihat menara suar yang masih cukup jauh, kami memutuskan untuk berbalik. Dengan motor kami kemudian mengakses muara dengan menyusuri jalan tanggul. Meski tanah, ruas jalan begitu sibuk dengan lalu lalang motor dan sepeda.
Tanggul sepanjang 2,3 kilometer itu berujung di Rumah Pompa Pabean. Keberadaannya berfungsi untuk mencegah rob, mengamankan wilayah sekitar dari luapan pasang air laut. Banjir memang jadi satu masalah serius yang dihadapi umumnya daerah Pantai Utara Jawa. Khusus Pekalongan, selain rob, penurunan muka air tanah menambah pelik persoalan. Laju penurunannya menjadi yang paling mengkhawatirkan se-Indonesia, mencapai 15-20 centimeter per tahun.
Pemandangan di sekitar adalah bukti tak terbantahkan. Petak-petak tambak tenggelam, pohon kering tertinggal begitu saja di tengah genangan. Sementara pantai menyisakan daratan pasir yang menyembul, terputus dan terpencar-pencar. Tanaman berjajar berselang-seling antara yang hijau dan mati kering.
Tambak yang menggenang berlatar daratan pantai |
Saat mengintip Google Earth, pembuatan tanggul dan rumah pompa dapat diperkirakan berlangsung sekitar satu tahun. Pembangunan jalan tanggul mulai terlihat dari citra Mei 2018. Dan pada citra Juni 2019, pengerjaan telah menyentuh ujung dan rumah pompa didirikan.
Area ini dimanfaatkan oleh berbagai jenis burung untuk mencari makan. Blekok sawah berjajar-jajar di sepanjang tanggul. Kebanyakan tengah dalam bulu berbiak. Raja-udang biru jadi jenis lain yang melimpah dan umum.
Kami memutuskan untuk berhenti sejenak saat Adin melihat sekelompok cangak abu berdiam di kejauhan, pada daratan kecil yang timbul dekat pesisir. Ketika ia sibuk menghitung, saya jadi punya kesempatan mencatat jenis-jenis yang sempat terlihat sepanjang tanggul dan tambak. Sebelum lupa. Cerek jawa, kokokan laut, mandar batu, kuntul perak, kuntul besar, cici padi, dan banyak lagi.
Perjalanan kemudian kami lanjutkan hingga ujung tanggul tempat berdirinya Rumah Pompa Pabean. Setelah memarkir motor, kami berjalan melewati ruas pematang yang cukup lebar. Ke utara, menuju muara. Pematang dari tanah merah dan krakal itu padat dan kering, meski sesekali terdapat genangan. Mau tidak mau, celana mesti dilipat, langkah berkecipak.
Menara suar kembar di mulut muara Kali Sengkarang |
Pematang itu jadi area favorit buat pemancing, menjadikan sore terasa ramai. Saya perhatikan, satu orang bisa membawa 2-3 pancing. Ke sisi kiri, pancing terjulur ke badan sungai. Joran di sisi kanan, mengarah ke bekas tambak yang kini rata tergenang.
Barisan bakau Rhizopora mucronata menjadi pagar pembatas antara pematang dan badan air. Meski tak seberapa, keberadaannya jadi oase bagi burung-burung kecil. Kami mencatat kehadiran remetuk laut, kipasan belang, juga caladi tilik dan caladi ulam. Saya sebenarnya berharap bisa menjumpai kacamata jawa, tapi tidak ada.
Setelah 1,5 jam pengamatan, kami memutuskan pulang. Total 28 jenis burung yang tercatat. Separuhnya masuk kelompok burung air yang jadi target sensus. Sekelompok belibis tak dapat teridentifikasi hingga tingkat jenis, saking jauhnya, sehingga tidak ter-input ke Burungnesia.
Burung teramati:
- Belibis Dendrocygna sp 28
- Tekukur biasa Spilopelia chinensis 3
- Walet linci Collocalia linchi 19
- Kareo padi Amaurornis phoenicurus 1
- Mandar batu Gallinula chloropus 1
- Kowak-malam abu Nycticorax nycticorax 4
- Kokokan laut Butorides striata 13
- Blekok sawah Ardeola speciosa 78
- Kuntul kerbau Bubulcus ibis 135
- Cangak abu Ardea cinerea 28
- Cangak besar Ardea alba 9
- Kuntul perak Ardea intermedia 3
- Kuntul kecil Egretta garzetta 2
- Pecuk-ular asia Anhinga melanogaster 2
- Cerek jawa Charadrius javanicus 2
- Trinil pantai Actitis hypoleucos 11
- Kirik-kirik senja Merops leschenaulti 1
- Raja-udang biru Alcedo coerulescens 7
- Cekakak sungai Todiramphus chloris 2
- Caladi tilik Picoides moluccensis 2
- Caladi ulam Dendrocopos analis 2
- Remetuk laut Gerygone sulphurea 3
- Sepah kecil Pericrocotus cinnamomeus 4
- Kipasan belang Rhipidura javanica 5
- Cici padi Cisticola juncidis 8
- Layang-layang batu Hirundo javanica 1
- Kerak kerbau Acridotheres javanicus 1
- Burung-gereja erasia Passer montanus 12
Comments
Post a Comment