Desa Manuk dari citra Google Earth. |
Penamaan tempat, dalam hal ini desa, jadi salah satu bukti kedekatan manusia pada alam seisinya. Masyarakat di banyak tempat, termasuk di Pulau Jawa, punya itu.
Menilik secara keilmuan, terdapat bidang kajian tentang asal-usul penamaan sebuah tempat. Dalam ilmu linguistik dikenal dengan nama toponimi. Kajiannya berkait erat dengan sejarah, kebudayaan, mitos ataupun legenda.
Nama tempat dapat mengandung arti penting dan menjadi warisan budaya. Multamia Retno Mayekti Tawangsih Lauder, dalam webinar "Toponimi sebagai Artefak Budaya", 26 Februari 2021, menjelaskan posisi nama tempat sebagai warisan budaya.
Dalam pemaparannya, Guru Besar Linguistik Universitas Indonesia itu mengutip Botolv Helleland. Bahwa nama tempat, dapat; (1) memberikan informasi tentang kondisi alam dan budaya pada saat nama itu diciptakan yang mewakili ingatan tempat, sehingga berfungsi sebagai dokumentasi sejarah; (2) merupakan bagian dari bahasa dan sejarah lokal; serta (3) mencerminkan hubungan antara komunitas setempat dan lingkungannya.
Terkait poin-poin itu, saya menyiapkan satu seri berisi (entah akan jadi berapa) tulisan ringan, mengenai desa-desa di Pulau Jawa yang penamaannya mengandung unsur nama burung. Saya tergelitik mengingat satu obrolan bersama Kaspo. Ia bertanya mengenai nama-nama desa yang berasal dari nama burung. Saat itu, dengan gagap saya menjawab sekenanya.
Dalam tulisan, saya akan mengajak Anda jalan-jalan. Sepintas berkenalan dengan desa-desa—termasuk juga kelurahan—tersebut. Sama-sama mencari tahu wujud ikatan antara nama dan kondisi desa, arti dan asal-usul penamaan atau kisah-kisah di baliknya. Tak lupa sambil sesekali mengintip keragaman burung di sana.
Oh, sebelum lebih jauh. Dengan senang hati dan terbuka saya menerima masukan sekira ada nama desa yang luput dan terlewat, atau informasi tambahan yang menarik dari desa-desa yang saya singgung. Pun koreksi atau kritik, jika ada uraian yang tidak tepat, menyimpang atau tidak sesuai.
Oke. Selamat berwisata lewat tulisan pertama.
* * *
Kata manuk, sebagaimana dalam bahasa Sunda maupun Jawa, punya arti sama: burung. Dan dari penulusuran singkat, ternyata cukup banyak desa yang menggunakan unsur kata tersebut. Hampir 10 desa yang saya temukan, tersebar dari barat hingga timur Jawa. Langsung saja, kita kunjungi satu demi satu.
Desa Manuk, Kecamatan Siman, Ponorogo
Saya pilih Desa Manuk sebagai yang pertama. Ia istimewa, karena menjadi satu-satunya yang menggunakan ‘manuk’ sebagai kata tunggal untuk penamaan. Bukan merupakan singkatan kata atau penambahaan unsur lain seperti imbuhan.
Dalam kajian toponimi, penamaan tersebut masuk dalam bentuk monoformefis. Sementara, kebanyakan desa burung memiliki bentuk poliformefis. Ada yang mendapat imbuhan, ada yang terdiri dari dua kata, bahkan ada juga yang merupakan penggabungan dua kata.
Oke, kembali ke Desa Manuk.
Letaknya tak jauh dari Kota Ponorogo. Hanya sekitar 3-4 kilometer di timur alun-alun kota. Terdapat Embung Sedodog yang menjadi sumber pengairan warga, sekaligus juga dikembangkan sebagai obyek wisata.
Dari penelusuran, penamaan desa ini sebanarnya tidak berkaitan sama sekali dengan unsur burung. Tak seperti yang saya kira sebelumnya.
Manuk, menurut sejarah lisan, diambil dari nama seorang tokoh yang bernama Eyang Tjomanuk. Saya mendapati kisahnya di hasil penelitian Yuana Kartika Devi. Sementara, uraian sejarah desa yang ada di situs resmi milik pemerintah desa sayangnya tidak dapat diakses.
Judul penelitian tersebut “Pengembangan Potensi Wisata di Desa Manuk Kecamatan Siman Kabupaten Ponorogo”. Skripsi sosial di 2020 itu menguraikan legenda desa yang berlatar Perang Diponegoro. Begini ringkasnya, sesuai pemahaman saya.
Eyang Tjomanuk berasal dari Yogyakarta dan merupakan salah satu prajurit Pangeran Diponegoro. Ia membangun sebuah masjid, bertempat tinggal, dan meninggal dunia di sebuah lokasi—yang kemudian kelak menjadi Desa Manuk. Sebelum sampai di lokasi tersebut, ia berjalan dari timur ke barat sambil menyeret tongkatnya ke tanah. Jejak tongkat kemudian menjelma jadi sungai sebagaimana kini terlihat dan menjadi batas desa.
Masih mengacu Devi, wujud masjid yang dibangun Eyang Tjomanuk telah hilang. Rusak tak terawat. Namun, Eyang Tjomanuk dimakamkan dekat lokasi masjid yang dibangunnya. Dari citra Google Earth, situs makam tertulis Makam Eyang Co Manuk.
Devi menjelaskan, “Makam Eyang Tjomanuk yang merupakan cikal bakal Desa Manuk terletak di Jalan Manyar Dukuh Jangkalan Desa Manuk, yang terkenal dengan nama Dhanyangan Eyang Tjomanuk (Ki Ageng Tjomanuk).”
Di Google Maps, terdapat satu foto yang menunjukkan situasinya. Terlihat area pemakaman berukuran sekitar 4x2 meter, dikelilingi oleh empat atau lima tumpukan batu bata yang menghitam. Warna batu bata itu mengesankan umurnya yang telah sedemkian lama.
Usai memuaskan rasa penasaran untuk mengetahui kondisi makam, saya pun penasaran atas penyebutan nama jalan makam. Benar saja. Setelah memperhatikan desa dengan lebih detil, ternyata ada beragam jenis burung lain di Desa Manuk yang bisa ditemukan di ruas-ruas desa.
Selain manyar, ada merak, mliwis, sikatan, kenari, dan merpati. Tersemat sebagai nama jalan, apakah burung-burung itu (pernah) hidup liar di sana?
ditunggu lanjutane
ReplyDelete