Skip to main content

Desa-desa burung di Jawa #2: Manukan

Letak Desa Manukan terlihat dari citra Google Earth.

Setelah jalan-jalan ke Desa Manuk di Ponorogo, sekarang saya ajak Anda beranjak ke utara. Kita menuju salah satu desa yang masuk wilayah Kabupaten Bojonegoro. 

Desa Manukan, Kecamatan Gayam, Bojonegoro

Desa Manukan terletak persis di sisi timur Bengawan Solo. Sungai tua, saksi bagi banyak peradaban Jawa. Sungai itu menyatu dan menjadi bagian tak terpisahkan dari desa.

Apakah Desa Manukan punya kisah setua Bengawan Solo? 

Saya tidak tahu. Tapi, ada yang sungguh-sungguh menarik. Coba perhatikan citra Google Earth yang ada. Lekuk sungai di sekitar Desa Manukan berada itu membentuk satu figur unik. Ya, KEPALA BURUNG, lengkap dengan paruhnya!

Heran juga saya. Pemukiman warga Desa Manukan berada di utara, selayaknya garis pada mahkota si figur burung, memanjang searah timur-barat mengikuti alur sungai. 

Di antara alur sungai dan pemukiman, terdapat tutupan hijau yang cukup rapat. Penampakan citra Google Street View memperlihatkan, area itu merupakan perkebunan jati. 

Sementara di sisi selatan pemukiman, area persawahan terbentang seluas-luasnya, sejauh mata memandang. Jalan yang membelah di tengah sawah, tak kurang dari 1,5 kilomoter panjangnya. Dan, persis pada paruh burung, terdapat Desa Sudu yang masuk dalam kecamatan sama. 

Apakah asal-usul nama desa karena alur sungai berbentuk burung itu?

Mencari jawaban ini—seperti untuk Desa Manuk—saya mengunjungi terlebih dahulu situs resmi pemerintah desa. Namun (lagi-lagi) sayang. Kali ini, meski bisa diakses, halaman Sejarah Desa hanya dibiarkan kosong tanpa isi. 

Beruntung ada tulisan dari I’in Inayah yang berjudul Asal-Usul Desa Manukan. Itulah satu-satunya unggahan di blog tersebut. Bertanggal 31 Maret 2019, uraiannya pun jadi satu-satunya sumber yang bisa saya temukan di internet.

Saya coba menghubunginya, meminta izin untuk mengutip tulisan. Namun sayang, tidak ada respon.

Inti dari kisah asal-usul Desa Manukan berupa upaya pencarian burung perkutut putih. Konon, puteri dari Kerajaan Kediri menginginkan burung tersebut, sehingga pasukan kerajaan dikerahkan untuk mencari dan menangkapnya.

Pencarian membawa pasukan tersebut ke sebuah tempat. Sulitnya menangkap sang perkutut putih membuat mereka memutuskan untuk menetap di sana. Lokasi dengan banyak jenis burung, yang karenanya disebut sebagai Desa Manukan kini. 

Silakan berkunjung ke blog tertaut untuk kisah sejarah desa yang menarik itu. Kisah yang mungkin nyata, atau bisa jadi hanya legenda. Satu yang pasti, ia menegaskan keterkaitan erat antara burung dan penamaan desa. 

Kalau dulu, tak perlu sampai dulu-dulunya dulu, 20-30 tahun lalu saja, saya yakin banyak burung di sana. Tetapi, kini, apakah perkutut dan beragam jenis burung lain masih tetap ada?

Comments

Popular posts from this blog

Di balik paper: Dara-laut jambon berbiak di Kep. Karimunjawa

Judul makalah si jambon pada jurnal Treubia Burung Karimunjawa masih saja menyimpan hal menarik untuk digali dan ditulis. Dara-laut jambon misalnya, yang diam-diam ditemukan berbiak di sana. Temuan berbiak si jambon di kepulauan utara Jepara itu bermula dari (siapa lagi kalau bukan) sang penulis utama, Kang Hary Susanto. Saat belionya ke Karang Ketel, 24 Mei 2021, e ketemu sepasang yang tengah bersarang. Ada satu telur yang tengah dierami. Dikirimi fotonya, saya ya nggak bisa banyak komentar. Belum pernah lihat jambon sebelumnya. Tapi, usut punya usut, temuan Kang Hary itu trbilang penting. Tidak hanya dalam lingkup Jawa, namun juga Indonesia secara keseluruhan. Penting yang pertama, Karimunjawa menjadi lokasi berbiak baru bagi penetap berstatus jarang tersebut. Di Jawa, si jambon (pernah) tercatat berbiak di Pulau Dapur, Teluk Jakarta dan satu lokasi yang tidak diketahui persis di Jawa Barat. Satu telur dikoleksi dari masing-masing lokasi. Lokasi berbiak lain berasal dari dua lokasi ...

Di balik paper: Catatan ketinggian baru

Halaman pertama paper Setelah 2022 vakum tanpa paper, akhirnya saya bisa punya lagi di 2023. Nyaris nggak punya sebenarnya, karena meski dicantumkan dalam edisi Juli bernomor 32(1), papernya terbit di awal 2024. Maksud hati ingin paper yang mencatat ketinggian baru beberapa jenis burung di Jawa itu (silahkan unduh di sini ) bisa terbit di 2022 mengiringi buku panduan. Dalam buku, draf paper sudah dipakai dengan sitasi tertulis in prep. Tapi, apa daya. Berbahasa Indonesia tidak menjamin paper hasil keroyokan itu bakal gampang terselesaikan. Begitu menerima hasil tinjauan, dua peninjau atau reviewer bertanya dan meminta tambahan penjelasan mengenai mengapa fenomena itu bisa terjadi. Paper harus dikembangkan dengan menguraikan alasan-alasan yang memungkinkan. Sungguh di luar dugaan. Karena umumnya, paper hasil pengamatan insidental hanya menguraikan hasil observasi dan hal-hal yang membuatnya menjadi penting atau bernilai kebaruan. Tidak sampai menganalisa penyebab fenomena yang...

Penguin di Jawa

Uraian Meyer (1884) terkait penguin di Jawa. Dari sedemikian banyak jenis burung di dunia, menurut saya penguin jadi salah satu yang teraneh. Lebih aneh lagi, ia ternyata pernah tercatat hadir di Jawa. Adalah Adolf Bernhard Meyer, seorang ornitolog Jerman, yang menyampaikan itu lewat makalahnya tentang burung Hindia Timur. Makalah tersebut ia sampaikan dalam kongres ornitologi internasional di Wien, 7-14 April 1884. Dari 153 jenis yang tertera, ada Southern Rockhopper Penguin Eudyptes chrysocome di sana. "Seorang nelayan," buka Meyer dalam uraiannya, "menemukan spesimen [penguin tersebut] di pantai dekat Batavia; demikian menurut komunikasi yang disampaikan Tn. v. Schierbrand pada saya." Uraiannya masih agak panjang, tapi saya potong saja di situ. Soalnya, dari satu kalimat singkat itu saja banyak hal menarik untuk dikupas. Tiga saja lah ya. Pertama, sang nelayan bisa dipastikan inlander. Kalau ia dari bangsa kolonial namanya tentu tertera, sebagaimana Meyer menyeb...