Skip to main content

Sebuah buku berisi kata pengantar

  ... karena buku, sebagaimana setiap kitab dari pengarang mana pun yang pernah melihat terbit dan terbenamnya matahari, tidak lain daripada kata pengantar kepada buku lain lagi kelak di kemudian hari, yang jauh-jauh lebih penting.

(Daniel Dhakidae)


Tanpa pernah membayangkan bikin field guidetau-tau "Panduan lapangan burung-burung di Indonesia seri 1: Sunda Besar" terbit. Dan terlibat di penyusunannya adalah anugerah. 

Di awal, saya tak serius menanggapi kala Kang Swiss melontarkan ide penggarapan. Saat itu penyusunan buku Atlas Burung Indonesia (ABI) hampir rampung. Pekerjaan berat yang dilakukan tim Gantangan (sebutan untuk tim penyusun) setelah maraton setiap hari nyaris setahun, bisa dibilang sudah selesai. Pikir saya, mosok baru aja mau ambil napas, sudah diajak menyelam lagi.

Mungkin anggota tim lain yang terlibat dalam obrolan di Batu itu menyambut dengan antusias. Tapi, saya hanya ingin kembali menjalani hidup sebagai manusia normal. Tak ingin otak ketambahan banyak pikiran, mikirin burung doang pula. Kapasitasnya yang tak seberapa ini nyaris habis terkuras buat ABI. 

Jadi, nggak ada ambisi atau mimpi sama sekali. Dari dulu bahkan. Pun ketika selang beberapa bulan kemudian, pria (asli) Batu berlidah api itu telpon. Nggak ada pembicaraan soal lain, kecuali rencana penggarapan field guide. Kali itu ia memberi penekanan.

Jo rabi sik,” katanya.

Permintaan yang jelas nggak masuk. Di hadapan, draf naskah buku "Dua Abad Ornitologi Jawa" terpampang pada layar laptop. Seseorang tengah menanti kepastian penyelesaiannya. 

“Wee.. Yo tak rabi sik to, Kang,” jawab saya. 

Saya jelaskan ke Kang Swiss kalau saat itu sedang sibuk bekerja. Cuma untuk satu pekerjaan sebenarnya, merampungkan naskah sebagai mahar pernikahan. Kantornya, Kantor Urusan Agama.

Alasan itu hanya bertahan sementara waktu. April tahun lalu, persis di bulan puasa, Kang Swiss bersama gerombolan Birdpacker menyatroni rumah ibu. Padahal pernikahan saya dan Rega baru hitungan hari.

Jadilah kemudian selama 3 bulan saya kembali bergabung dalam tim. Kembali berkutat di Batu, mengerjakan buku sembari mengisolasi diri, menjalani hidup nggak normal bersama yang lain. Saat itu, hampir seluruh anggota tim penyusun di sana adalah ilustrator, hanya saya yang penulis.

Selepas itu pengerjaan buku cuma bisa disambi. Entah dari rumah, Jogja, Pekalongan, atau mana saja, sebisa-bisanya. Kalau pengerjaan di Retrorika cafe & resto bisa disebut residensi, pengerjaan di luar markas gantangan biasa disebut remote.

Nah, karena kebanyakan tim penyusun (terutama penulis) mengerjakan secara remote, rencana penyelesaian di Desember 2021 harus molor, bahkan berbulan-bulan hingga buku tercetak di September 2022. Dari saya baru nikah sampai kemudian punya Ulung.

Ulung dan buku burung Sunda Besar
Ulung bersiap membedah buku burung Sunda Besar.

Begitu sebenarnya keterlibatan saya. Jadi, bukan karena apa-apa. Lebih karena tengah nganggur, makanya mau aja diajak.

Kelebihan buku

Oke, selanjutnya soal isi buku. Anggap ini promosi ya. 

Salah satu kelebihan buku ini ada pada kemutakhirannya. Pertama, acuan taksonomi yang digunakan. Di awal penggarapan, kami menggunakan daftar jenis HBW-BirdLife versi 5 (terbit Desember 2020). Namun, seiring pengerjaan, daftar tersebut diperbarui dengan terbitnya versi 6, Desember 2021.

Bongkar pasang spesies pun tak terhindarkan. Ada penggabungan (lump). Dua subspesies jalak putih yang pada versi 5 menjadi jenis tersendiri, kembali menjadi subspesies di versi 6. Pemisahan (split) lebih banyak lagi. Pada cica-daun sayap-biru, misalnya.

Meski HBW-BirdLife jadi acuan utama, kami memasukkan jenis-jenis yang belum tercantum. Ada dua jenis, yang itu baru bagi sains: sikatan kadayang dan juga kacamata meratus.

Kemutakhiran kedua ada pada informasi sebaran. Tercantum cukup banyak temuan sebaran baru dari para pengamat, baik yang menjadi catatan baru untuk Indonesia maupun untuk kawasan. 

Bangau india, ambil contoh, dilaporkan oleh Hasri Abdillah di Sumatra. Ini jadi catatan pertama kehadiran jenis mirip bangau bluwok itu untuk Indonesia. Ada pula jalak filipina, tambahan daftar jenis untuk Sumatra (dilaporkan oleh Yuli Seperi), hupo tunggal untuk Bali (dilaporkan oleh Oka Dwi Prihatmoko dan kawan-kawan), serta banyak lagi. Namun, ada satu ketentuan soal kemutakhiran. Bahwa cepat atau lambat itu akan jadi informasi usang. Bahkan seketika buku itu terbit.

Sekarang bicara ilustrasi. Gambar-gambar spesiesnya begitu memanjakan mata. Pembaca, misalnya, akan menemukan itu kala membuka halaman burung pemangsa diurnal. Tak tanggung-tanggung, ilustrasi pose tengger dan terbang tersedia untuk semua spesies elang dan alap-alap. Kumplit.

Buku ini menyasar siapa saja. Cocok bagi yang baru mau tertarik sama burung atau sedang mulai belajar mengenalinya. 

Kalau berkaca pada pengalaman sendiri, buku ini semoga akan dapat jadi sahabat karib dalam proses belajar para pengamat burung saat ini. Yang akan menemani di lapangan, waktu senggang, saat ngobrol dan berbagi ke sesama teman pengamatan, atau kapan saja bisa. Sebagaimana buku MacKinnon yang jadi pegangan saya kala itu.

Begitu pula buat yang sudah lama mengamati burung dan sangat mengenal jenis-jenis kawasan Sunda Besar. Panduan informasi distribusi telah diupayakan selengkap dan se-apdet mungkin, namun peluang menemukan tambahan jenis baru untuk kawasan tetap masih sangat sangat terbuka lebar. 

Informasi terkait perkembangbiakan pun demikian. Ini satu yang perlu digarisbawahi. Bahwa masih banyak jenis yang informasi berbiaknya tertulis dengan 'tidak diketahui', 'sedikit diketahui', 'sedikit informasi' atau 'tidak ada informasi lain'. Anda, para pembaca lah yang kelak akan melengkapi informasi tersebut.

***

Dari semua, nggak ada yang lebih melegakan dibanding melihat hasil pekerjaan keroyokan itu telah selesai. Meskipun, harus diakui buku itu masih jauh dari sempurna. Cukup banyak temuan kekurangan, kesalahan, maupun typo, yang akan jadi masukan berharga untuk perbaikan.

Dalam acara bedah buku di Jatimulyo, satu dua kekurangan dan kelebihan buku dibedah. Dipandu oleh Mas Anang Batas, acara menghadirkan Pak Ali Imron dan Mas Puthut EA sebagai para pembedah utama. Menarik sekali menyimak pandangan keduanya, mengacu latar belakang dan kepakarannya masing-masing.

Pak Imron dalam bedah buku
Pak Imron dalam paparannya untuk buku, didampingi Mas Anang Batas dan Ratih Dewanti. Jatimulyo, 8 Oktober 2022.

Mas Puthut pada bedah buku
Mas Puthut saat membedah isi buku panduan, ditemani Mas Anang Batas dan Panji Gusti Akbar. Jatimulyo, 8 Oktober 2022.

Pak Imron, misalnya, mengapresiasi pencantuman Kode Etik Pengamat Burung Indonesia. Begitu pun Mas Puthut, yang dengan cermat menemukan sedemikian banyak typo bertebaran pada teks kode etik. Ibarat slilit katanya, saking mengganggunya.

Banyak hal lain sebenarnya yang disampaikan kedua pembedah. Begitu pula dari para peserta acara tersebut. Namun, sayang saya tidak sempat mencatat, pun tak bisa banyak mengingat.

Di luar itu, buku panduan haruslah dibaca dengan cermat dan kritis. Buku ini apalagi, ia bukan kitab suci. Ia hanya hadir sebagai kata pengantar, tepat sebagaimana kalimat salah satu cendekiawan terkemuka Indonesia dalam kutipan pembuka tulisan ini.

Kelak, akan lahir buku-buku yang jauh lebih penting. Tak hanya bagi perkembangan perburungan negeri ini, namun juga menyangkut upaya pelestariannya.

Comments

Popular posts from this blog

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma

Buku Burung

Momen Hari Buku Nasional baru lewat. Jadi, mestinya tulisan ini buat 17 Mei lalu. Tapi, nggak papa, toh bulannya masih sama. Banyak tema yang disodorkan orang-orang dalam memperingati Hari Buku Nasional. Ada yang membuat rekomendasi bacaan versinya. Bernada macam: 'buku yang harus dibaca sebelum umur kamu 40'. Ada pula yang menulis persinggungan dan keintiman seseorang dengan buku. Ada juga insan buku yang mengupas seluk-beluk dunia penerbitan, kecenderungan minat baca atau ragam ketersediaan tema bacaan. Soal-soal yang menggelitik saya untuk juga menengok dunia buku perburungan tanahair. Mari melihat sama-sama. Dari data koleksi bibliografi yang saya kumpulkan, dalam kurun satu dekade terakhir (2011-2020), ada 72 judul buku burung dengan cakupan kawasan Indonesia yang terbit. Data ini sangat mungkin nggak lengkap ya. Bisa saja ada judul yang terlewat radar (silakan cek lampiran di akhir tulisan, siapa tau ada yang terlewat). Dari total 72 judul itu, sebagian besarnya (66 jud