Skip to main content

Posts

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma...

Rajutan pengetahuan dalam "Burung-burung Indah Maluku Utara"

Sampul depan "Burung-burung Indah Maluku Utara". Di satu waktu, Akhmad David Kurnia Putra mengatakan kalau ia tengah berusaha mengumpulkan foto-foto burung se-Halmahera. Rupanya jauh lebih luas lagi, menjadi sebagaimana judulnya, Burung-burung Indah Maluku Utara . Mas David, demikian saya biasa menyapa, mungkin awalnya merasa terpanggil dan penasaran. Hingga kemudian berupaya mendokumentasikan sebanyak-banyaknya jenis burung yang ada di sepenjuru Moluku Kie Raha.  Bersama Adriel L. Muda dan Mahroji, ia “keluar” dari Taman Nasional Aketajawe Lolobata, tempatnya bekerja. Sesuatu yang harus diapresiasi tinggi. Menunjukkan kalau mengamati dan mendokumentasi burung menjadi penyaluran minat dan kecintaan mereka para polisi hutan (sementara Pak Mahroji adalah tenaga kontrak dan pemandu wisata burung). Sebuah penegasan kalau mengamati burung tak sekadar tuntutan pekerjaan, tak sebatas lingkup wilayah kerja. Ia menjadi sarana untuk terus berkarya. Saya tentu harus menyebut itu. Di 201...

Burung 'nggak tau'

Kecembang gadung dari Siberut, 2017. Edward Jacobson tidak tahu kalau narasumbernya sama sekali tidak tahu nama dari kecembang gadung. Sang narsum, yang asli Sunda, bilang, 'duka'. Dalam bahasanya, itu artinya nggak tau . Bisa juga teu nyaho . Tetapi, duka  yang disebut. Dan itulah yang dikira Jacobson sebagai nama si kecembang. Dicatat saja olehnya, yang kemudian dipublikasikan Eduard Daniël van Oort dalam makalah tentang burung-burung Jawa bagian barat dan Krakatau, terbit 1910. Di uraian mengenai jenis itu, van Oort memberi keterangan: ‘Sundaic name: doeka’. Jacobson pun cepat menyadari kekeliruannya dan menerbitkan satu makalah di tahun yang sama. Ia membuat pengakuan: Kesalahan yang agak menggelikan terjadi karena ketidaktahuan saya tentang bahasa Sunda. Nama Irena puella turcosa Walden di halaman 138 yang saya sebut sebagai ‘doeka’, dalam bahasa Sunda berarti saya tidak tahu. Untung kejadiannya bukan sekarang-sekarang. Sang narsum bisa saja jadi menjawab agak lebih panja...

Caladi euy, bukan kaladi

Caladi tilik di depan sarangnya, Jatimulyo, 2019 Mungkin sejak pertama kali lihat atau dengar namanya, saya menyebut caladi sebagai kaladi. Eh, ternyata keliru. Sebenarnya sudah sangat jelas. Di buku panduan, dari MacKinnon Jawa Bali sampai yang SKJB, tertulis dengan huruf c, bukan k. Ya, caladi ulam, caladi tilik, caladi belacan, dan caladi-caladi lainnya... Entah kenapa jadi menyebutnya kaladi. Bingung saya. Apa mungkin karena sudah begitu akrab dengan kata keladi?  Ya, sudah jadi pengetahuan umum sebenarnya kalau kebanyakan nama burung di Indonesia berasal dari nama lokal. Sumbernya dari yang ditemukan di berbagai makalah jadoel .  Kalau untuk caladi, itu berasal dari bahasa Sunda. Seturut yang bisa ditemukan, setidaknya disebut dalam beberapa makalah, seperti Nicholson (1881), Koningsberger (1901), dan van Oort (1910). Kalau di Bernstein (1859), ia menyebut tjaladi sebagai bahasa Melayu. Koningsberger menjelaskan, “Orang Sunda umumnya menyebut burung pelatuk sebagai t...

Fotografi burung: kesenangan dan petualangan berbingkai ilmu pengetahuan dan pelestarian

Dalam upaya mendapat foto ciamik Memotret burung telah menjadi hobi yang memikat banyak orang, dari berbagai latar belakang. Sebagai anak kandung fotografi, kesenangan yang satu ini mampu membawa peminatnya dalam nuansa lebih: tantangan petualangan serta kedekatan dengan dunia sains dan konservasi. Guna mencapai lokasi yang jadi habitat burung saja kerap kali menantang. Sensasi petualangan akan begitu terasa saat blusukan di hutan atau naik turun bukit. Itu satu soal. Belum lagi untuk upaya mendapatkan foto. Para pelakunya harus punya kesabaran ekstra saat mencari, menunggu dan mengatasi kebosanan. Mereka kudu siap berpayah saat harus mengendap, merayap senyap agar sedekat mungkin dengan burung yang jadi sasaran.  Tapi itu akan terbayar ketika foto bagus didapat dan momen-momen menarik mampu tertangkap kamera. Apalagi bila hasilnya menjadi temuan baru atau bernilai tinggi bagi pengetahuan. Bonus besar.       Di Indonesia, genre memotret burung liar yang diabadikan la...

Buku Burung

Momen Hari Buku Nasional baru lewat. Jadi, mestinya tulisan ini buat 17 Mei lalu. Tapi, nggak papa, toh bulannya masih sama. Banyak tema yang disodorkan orang-orang dalam memperingati Hari Buku Nasional. Ada yang membuat rekomendasi bacaan versinya. Bernada macam: 'buku yang harus dibaca sebelum umur kamu 40'. Ada pula yang menulis persinggungan dan keintiman seseorang dengan buku. Ada juga insan buku yang mengupas seluk-beluk dunia penerbitan, kecenderungan minat baca atau ragam ketersediaan tema bacaan. Soal-soal yang menggelitik saya untuk juga menengok dunia buku perburungan tanahair. Mari melihat sama-sama. Dari data koleksi bibliografi yang saya kumpulkan, dalam kurun satu dekade terakhir (2011-2020), ada 72 judul buku burung dengan cakupan kawasan Indonesia yang terbit. Data ini sangat mungkin nggak lengkap ya. Bisa saja ada judul yang terlewat radar (silakan cek lampiran di akhir tulisan, siapa tau ada yang terlewat). Dari total 72 judul itu, sebagian besarnya (66 jud...

Jejak Spesimen dari Yogyakarta

Dalam  Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta , tertuang pernyataan dari Gerlof Fokko Mees. Terpampang guna membuka kata pengantar, kurator museum asal Belanda itu menulis begini: The Sultanate of Djokjakarta is completely unknown; to my knowledge not a single bird has ever been collected there for scientific purposes. Kutipan tersebut berasal dari buku yang ia terbitkan pada 1996, Geographical variation in birds of Java . Itu seakan menjadi penegasan akan miskinnya eksplorasi burung di Bumi Mataram—setidaknya yang berlangsung sepanjang era keemasan pencarian dan penemuan hal baru. Yogyakarta sebagai wilayah bertuan, memang seperti dilewatkan. Mungkin tak sembarang orang bisa dan berani menjelajah. Harus seizin sang penguasa tanah Mataram. Mungkin para naturalis berpikir wilayah Yogyakarta nggak ada apa-apanya  dibanding luasnya wilayah Jawa yang ada di penguasaan kolonial.  Daripada sulit dan repot, lebih baik berfokus pada daerah lain di barat, tengah, dan timur...