Skip to main content

Posts

AWC 2022: Muara Sebakung, Pekalongan

Adin di pematang menuju muara Demi melihat sungai-sungai dari Pegunungan Serayu Utara bermuara, saya dan Adin mendatangi ujungnya Kali Sengkarang, 17 Januari 2022. Selain karena penasaran, kunjungan ke pesisir Pekalongan ini jadi ajang kami mengikuti sensus burung air se-Asia atau Asian Waterbird Census. Kali Sengkarang merupakan sungai besar di Petungkriyono barat. Mengalir sepanjang 52 kilometer, hulunya berada di dua titik: Simego dan Tlogopakis. Keduanya berada pada ketinggian di atas 1.000 meter. Dalam perjalanan menuju hilir, banyak lagi kecamatan yang dilintasi, macam Lebakbarang dan Karanganyar. Aliran Sengkarang kemudian mewadahi sungai-sungai kecil yang bergabung. Beberapa yang cukup besar, mencakup Kali Wisnu dan Kali Kumenyep di barat. Sementara dari timur, bergabung Kali Blimbing, Kali Kuluran, dan Kali Welo. Pertemuan antara Kali Sengkarang dan Kali Welo itu menjadi yang paling akhir. Ditandai dengan keberadaan Bendungan Kletak di Kedungwuni. Seluruh sungai itulah yang me...

Tahun baruan ala Thomas Horsfield

  Kompleks Gede-Pangerango yang tertutup awan Buat Thomas Horsfield yang menghabiskan 17 tahun di Jawa dengan melulu ngetrip , riset, dan kerja pengoleksian, tahun yang berganti mungkin tak sempat ia rayakan. Tak ada pesta kembang api, kongkow bareng teman atau sekadar bikin resolusi. Seringnya ia sibuk bepergian, dalam perjalanan atau asyik blusukan. Seperti pada 1 Januari 1818. Persis di hari itu, lebih dari dua abad lalu, ia tiba di Samarang. Sang naturalis baru saja berkeliling wilayah tengah Jawa, ke beberapa lokasi yang pernah ia datangi sebelumnya.  “Saya menutup penelitian saya di wilayah kekuasaan Kesultanan dengan mengunjungi bangunan bersejarah Borobudur, di Kedu, juga ke Brambanan dan Jandi-sewu, di Mataram,” ungkap Horsfield dalam Plantae Javanicae Rariores . Lantas, “mengarah ke timur, saya melalui wilayah Sokkowati dan Grobogan, mengunjungi sekali lagi gunung api lumpur Kuwu, dan ke arah barat melewati Damak, mencapai kota Samarang pada 1 Januari 1818.” Perjala...

Dua Abad Ornitologi Jawa: Cuitan Pembuka

Tahun 2021 hampir tamat. Namun ada irisan peristiwa yang membuat tahun ini jadi momentum dua abad buat perburungan tanah Jawa. Lewat dua publikasi di 1821, Jawa muncul mewarnai jagad ornitologi.  Tak ingin melewatkannya, saya pun menyusun naskah kecil berjudul "Dua Abad Ornitologi Jawa", dengan sub-judul  " Thomas Walker Horsfield, Karyanya di 1821, dan Perkembangan Perburungan oleh Anak Negeri " . Setelah penggarapan sepanjang Januari hingga April, buku ringan ini kemudian dicetak khusus dan sangat terbatas. Usai itu, saya meminta kesediaan beberapa peneliti burung Tanah Air untuk ikut membacanya. Pak Soma [Prof. Dr. Soekarja Somadikarta  (Emeritus )], Pak Pram [Ir. Ign. Pramana Yuda. M.Si., Ph.D], Bu Ani [Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc], dan juga Dr. Sebastian van Balen. Hingga kemudian saatnya kini saya bermaksud mencetaknya kembali. Kali ini untuk menghadirkannya ke khalayak yang lebih luas, dengan isi yang diperkaya asupan dan masukan para ornitolog, terma...

Rajutan pengetahuan dalam "Burung-burung Indah Maluku Utara"

Sampul depan "Burung-burung Indah Maluku Utara". Di satu waktu, Akhmad David Kurnia Putra mengatakan kalau ia tengah berusaha mengumpulkan foto-foto burung se-Halmahera. Rupanya jauh lebih luas lagi, menjadi sebagaimana judulnya, Burung-burung Indah Maluku Utara . Mas David, demikian saya biasa menyapa, mungkin awalnya merasa terpanggil dan penasaran. Hingga kemudian berupaya mendokumentasikan sebanyak-banyaknya jenis burung yang ada di sepenjuru Moluku Kie Raha.  Bersama Adriel L. Muda dan Mahroji, ia “keluar” dari Taman Nasional Aketajawe Lolobata, tempatnya bekerja. Sesuatu yang harus diapresiasi tinggi. Menunjukkan kalau mengamati dan mendokumentasi burung menjadi penyaluran minat dan kecintaan mereka para polisi hutan (sementara Pak Mahroji adalah tenaga kontrak dan pemandu wisata burung). Sebuah penegasan kalau mengamati burung tak sekadar tuntutan pekerjaan, tak sebatas lingkup wilayah kerja. Ia menjadi sarana untuk terus berkarya. Saya tentu harus menyebut itu. Di 201...

Burung 'nggak tau'

Kecembang gadung dari Siberut, 2017. Edward Jacobson tidak tahu kalau narasumbernya sama sekali tidak tahu nama dari kecembang gadung. Sang narsum, yang asli Sunda, bilang, 'duka'. Dalam bahasanya, itu artinya nggak tau . Bisa juga teu nyaho . Tetapi, duka  yang disebut. Dan itulah yang dikira Jacobson sebagai nama si kecembang. Dicatat saja olehnya, yang kemudian dipublikasikan Eduard Daniël van Oort dalam makalah tentang burung-burung Jawa bagian barat dan Krakatau, terbit 1910. Di uraian mengenai jenis itu, van Oort memberi keterangan: ‘Sundaic name: doeka’. Jacobson pun cepat menyadari kekeliruannya dan menerbitkan satu makalah di tahun yang sama. Ia membuat pengakuan: Kesalahan yang agak menggelikan terjadi karena ketidaktahuan saya tentang bahasa Sunda. Nama Irena puella turcosa Walden di halaman 138 yang saya sebut sebagai ‘doeka’, dalam bahasa Sunda berarti saya tidak tahu. Untung kejadiannya bukan sekarang-sekarang. Sang narsum bisa saja jadi menjawab agak lebih panja...

Caladi euy, bukan kaladi

Caladi tilik di depan sarangnya, Jatimulyo, 2019 Mungkin sejak pertama kali lihat atau dengar namanya, saya menyebut caladi sebagai kaladi. Eh, ternyata keliru. Sebenarnya sudah sangat jelas. Di buku panduan, dari MacKinnon Jawa Bali sampai yang SKJB, tertulis dengan huruf c, bukan k. Ya, caladi ulam, caladi tilik, caladi belacan, dan caladi-caladi lainnya... Entah kenapa jadi menyebutnya kaladi. Bingung saya. Apa mungkin karena sudah begitu akrab dengan kata keladi?  Ya, sudah jadi pengetahuan umum sebenarnya kalau kebanyakan nama burung di Indonesia berasal dari nama lokal. Sumbernya dari yang ditemukan di berbagai makalah jadoel .  Kalau untuk caladi, itu berasal dari bahasa Sunda. Seturut yang bisa ditemukan, setidaknya disebut dalam beberapa makalah, seperti Nicholson (1881), Koningsberger (1901), dan van Oort (1910). Kalau di Bernstein (1859), ia menyebut tjaladi sebagai bahasa Melayu. Koningsberger menjelaskan, “Orang Sunda umumnya menyebut burung pelatuk sebagai t...

Fotografi burung: kesenangan dan petualangan berbingkai ilmu pengetahuan dan pelestarian

Dalam upaya mendapat foto ciamik Memotret burung telah menjadi hobi yang memikat banyak orang, dari berbagai latar belakang. Sebagai anak kandung fotografi, kesenangan yang satu ini mampu membawa peminatnya dalam nuansa lebih: tantangan petualangan serta kedekatan dengan dunia sains dan konservasi. Guna mencapai lokasi yang jadi habitat burung saja kerap kali menantang. Sensasi petualangan akan begitu terasa saat blusukan di hutan atau naik turun bukit. Itu satu soal. Belum lagi untuk upaya mendapatkan foto. Para pelakunya harus punya kesabaran ekstra saat mencari, menunggu dan mengatasi kebosanan. Mereka kudu siap berpayah saat harus mengendap, merayap senyap agar sedekat mungkin dengan burung yang jadi sasaran.  Tapi itu akan terbayar ketika foto bagus didapat dan momen-momen menarik mampu tertangkap kamera. Apalagi bila hasilnya menjadi temuan baru atau bernilai tinggi bagi pengetahuan. Bonus besar.       Di Indonesia, genre memotret burung liar yang diabadikan la...