Skip to main content

Posts

Caladi euy, bukan kaladi

Caladi tilik di depan sarangnya, Jatimulyo, 2019 Mungkin sejak pertama kali lihat atau dengar namanya, saya menyebut caladi sebagai kaladi. Eh, ternyata keliru. Sebenarnya sudah sangat jelas. Di buku panduan, dari MacKinnon Jawa Bali sampai yang SKJB, tertulis dengan huruf c, bukan k. Ya, caladi ulam, caladi tilik, caladi belacan, dan caladi-caladi lainnya... Entah kenapa jadi menyebutnya kaladi. Bingung saya. Apa mungkin karena sudah begitu akrab dengan kata keladi?  Ya, sudah jadi pengetahuan umum sebenarnya kalau kebanyakan nama burung di Indonesia berasal dari nama lokal. Sumbernya dari yang ditemukan di berbagai makalah jadoel .  Kalau untuk caladi, itu berasal dari bahasa Sunda. Seturut yang bisa ditemukan, setidaknya disebut dalam beberapa makalah, seperti Nicholson (1881), Koningsberger (1901), dan van Oort (1910). Kalau di Bernstein (1859), ia menyebut tjaladi sebagai bahasa Melayu. Koningsberger menjelaskan, “Orang Sunda umumnya menyebut burung pelatuk sebagai tjaladi ; merek

Fotografi burung: kesenangan dan petualangan berbingkai ilmu pengetahuan dan pelestarian

Dalam upaya mendapat foto ciamik Memotret burung telah menjadi hobi yang memikat banyak orang, dari berbagai latar belakang. Sebagai anak kandung fotografi, kesenangan yang satu ini mampu membawa peminatnya dalam nuansa lebih: tantangan petualangan serta kedekatan dengan dunia sains dan konservasi. Guna mencapai lokasi yang jadi habitat burung saja kerap kali menantang. Sensasi petualangan akan begitu terasa saat blusukan di hutan atau naik turun bukit. Itu satu soal. Belum lagi untuk upaya mendapatkan foto. Para pelakunya harus punya kesabaran ekstra saat mencari, menunggu dan mengatasi kebosanan. Mereka kudu siap berpayah saat harus mengendap, merayap senyap agar sedekat mungkin dengan burung yang jadi sasaran.  Tapi itu akan terbayar ketika foto bagus didapat dan momen-momen menarik mampu tertangkap kamera. Apalagi bila hasilnya menjadi temuan baru atau bernilai tinggi bagi pengetahuan. Bonus besar.       Di Indonesia, genre memotret burung liar yang diabadikan langsung di habitat a

Buku Burung

Momen Hari Buku Nasional baru lewat. Jadi, mestinya tulisan ini buat 17 Mei lalu. Tapi, nggak papa, toh bulannya masih sama. Banyak tema yang disodorkan orang-orang dalam memperingati Hari Buku Nasional. Ada yang membuat rekomendasi bacaan versinya. Bernada macam: 'buku yang harus dibaca sebelum umur kamu 40'. Ada pula yang menulis persinggungan dan keintiman seseorang dengan buku. Ada juga insan buku yang mengupas seluk-beluk dunia penerbitan, kecenderungan minat baca atau ragam ketersediaan tema bacaan. Soal-soal yang menggelitik saya untuk juga menengok dunia buku perburungan tanahair. Mari melihat sama-sama. Dari data koleksi bibliografi yang saya kumpulkan, dalam kurun satu dekade terakhir (2011-2020), ada 72 judul buku burung dengan cakupan kawasan Indonesia yang terbit. Data ini sangat mungkin nggak lengkap ya. Bisa saja ada judul yang terlewat radar (silakan cek lampiran di akhir tulisan, siapa tau ada yang terlewat). Dari total 72 judul itu, sebagian besarnya (66 jud

Jejak Spesimen dari Yogyakarta

Dalam  Daftar Burung Daerah Istimewa Yogyakarta , tertuang pernyataan dari Gerlof Fokko Mees. Terpampang guna membuka kata pengantar, kurator museum asal Belanda itu menulis begini: The Sultanate of Djokjakarta is completely unknown; to my knowledge not a single bird has ever been collected there for scientific purposes. Kutipan tersebut berasal dari buku yang ia terbitkan pada 1996, Geographical variation in birds of Java . Itu seakan menjadi penegasan akan miskinnya eksplorasi burung di Bumi Mataram—setidaknya yang berlangsung sepanjang era keemasan pencarian dan penemuan hal baru. Yogyakarta sebagai wilayah bertuan, memang seperti dilewatkan. Mungkin tak sembarang orang bisa dan berani menjelajah. Harus seizin sang penguasa tanah Mataram. Mungkin para naturalis berpikir wilayah Yogyakarta nggak ada apa-apanya  dibanding luasnya wilayah Jawa yang ada di penguasaan kolonial.  Daripada sulit dan repot, lebih baik berfokus pada daerah lain di barat, tengah, dan timur di luar pengu

Gang-gang Sepi Ornitologi Negeri: Paleoornitologi

Awetan bangau tongtong dan sandanglawe, terpajang di Fakultas Biologi Unsoed. Kalau ada bidang kajian perburungan Indonesia yang menantang dan nyaris kering kerontang dari publikasi, mungkin itu paleoornitologi. Cabang ilmu satu ini terbilang sangat sepi. Publikasi hasil kajian fosil, temuan belulang tua dari penggalian di situs arkeologi, nggak mesti ada setahun sekali. Mungkin karena peralatan yang dibutuhkan berbeda dari kebiasaan. Bukan bino mono, melainkan kapak, cukil, dan kuas. Burungnya bukan pula yang di hutan, tetapi yang terpendam di situs-situs arkeologi. Satu hal, disiplin ilmu yang mendasarinya memang berbeda. Namun, lewat bidang ini, Hanneke Meijer dan Rokus Awe Duwe mampu menemukan spesies burung baru—yang langsung masuk kategori punah.  Mereka menamainya Leptoptilos robustus . Tertuang dalam makalah berjudul A new species of giant marabou stork (Aves: Ciconiiformes) from the Pleistocene of Liang Bua, Flores (Indonesia) . Makalah ilmiah di jurnal bergengsi Zoological J

Gang-gang Sepi Ornitologi Negeri: Etnoornitologi

Boneka kayu kailaba dari Mentawai yang terpajang di Museum Adityawarman, Padang. Ibarat jalan raya, ornitologi Indonesia tak lagi terasa lengang. Di banyak bidang, perkembangannya terlihat pesat, ramai oleh berbagai temuan, hiruk-pikuk publikasi, dan kegiatan yang berlalu-lalang.  Tapi, bila menelusuri jalan itu sedikit lebih dalam, ternyata banyak gangnya yang masih terbilang sepi. Empat bidang yang setidaknya terasa kering, minim kajian. Kita mulai dari etnoornitologi. Sebagaimana kita tau , negeri ini kaya akan suku, bahasa, juga adat istiadat dan budaya. Setiap suku yang mendiami Nusantara dapat dikatakan memiliki kedekatan tersendiri dengan alam.  Terkait itu, akan ada hubungan, persinggungan antara manusia dan burung. Terwujud dalam mitologi, simbol-simbol, nama-nama lokal, atau cerita-cerita. Menjelma dalam beragam bentuk karya seni: lagu, tari, gambar, ukiran, patung, pantun, dan banyak lagi. Etnoornitologi menjadi satu bidang ilmu untuk mengungkap hal-hal itu. Dan dengan keung